Bab 3

20 4 0
                                    

Aku menjalankan kebiasaanku yang tidak bisa kuhilangkan. Bangun pagi. Padahal, hari ini aku ingin bangun siang, karena hari ini adalah hari libur. Atau mungkin, hari ini adalah hari terakhirku. Kupaksakan kelopak mataku untuk menutup, tapi tak bisa. Semalam tidurku tidak tenang. Aku terbayang reaksi kedua orangtuaku jika mengetahui nilaiku.

Tiba – tiba terdengar suara. "Chloe. Bagaimana nilai ujianmu? Ibu yakin pasti peringkat pertama".

Aku terkejut dan mengeluarkan setengah wajahku dari balik selimut. "Ibu, nanti saja, ya aku beritahu saat ulangtahun ibu", jawabku terbata – bata.

"Kapanpun boleh, asalkan jangan sampai dibawah 90".

"Tentu saja", balasku. Untung saja ibu tidak memaksaku memberitahukannya sekarang. Aku ingin sekali mengubah nilaiku. Seandainya ada remedial untuk nilai UN. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Usahaku telah dibuktikan, dan aku mendapat hasil yang seharusnya.

Lima hari lagi hari ulangtahun ibu. Aku akan mencoba memperbaiki hubunganku dengannya. Ia berulangtahun yang ke 48. Aku tidak ingin hubunganku dengan salah satu orangtuaku rusak, apalagi karena nilai UN ku.

Subuh- subuh kubuatkan kue untuk ulangtahun ibu. Aku juga sudah menyiapkan kado berupa kalung emas untuk ibu. Kalung itu aku peroleh dari tabungnku enam bulan ini. Aku tahu usaha yang kukerjakan akan sia – sia karena bagaimanapun juga, aku akan tetap dibentak kedua orangtuaku. Tapi, aku ingin membuat sesuatu yang berkesan di kejutan ulang tahun ibu yang akan kusaksikan untuk terakhir kalinya.

Pukul tiga pagi, aku membangunkan ibu untuk memberikan kejutan. Nampaknya, ia masih lelah atas pekerjaannya. Baru saja ia sampai dari kantor 1 jam yang lalu. Akupun memberikan kue itu. "Kejutan! Selamat ulang tahun yang ke 48, ya Ibu", ucapku dengan senyum. Reaksi ibu sungguh tak seperti yang aku harapkan. "Kamu tidur lagi, sana! Supaya punya cukup energi untuk belajar esok hari. Kalau tidak bisa tidur, lebih baik kamu belajar lagi! Oya. Bagaimana dengan nilai UN mu?" tanya ibu seraya bangkit dari ranjangnya.

Pertanyaan yang akan menghancurkan masa depanku muncul. Entah apa yang akan kukatakan pada ibu tentang nilai UN ku. Aku tidak dapat membendung air mataku, dan aku terisak sambil merogoh saku piama biruku dan menyodorkan hasil ujianku pada ibu.

Aku menundukkan wajahku dan mengintip ekspresi ibu. Tadinya sempat terpikir olehku untuk memalsukan hasil ujianku. Tapi, tidak ada yang bisa menirukan tanda tangan Pak Surya atau menduplikasi stampel sekolah. Tidak akan ada jalan keluar.

Aku mendongak sedikit dan mendapati wajah ibu yang mulai memerah. Tanpa berkata – kata, ia melempar segala barang yang ada di sebelahnya. Ia melempar hasil ujian itu tepat di wajahku. Karena kerusuhan itu, ayah yang sedang tertidur di sebelah ibu terbangun. Ia mengucek mata dan menanyakan mengapa ada keributan di ruangan ini.

"Ini hasil kerja anakmu. Sekarang ia tidak bisa melakukan apa – apa lagi!" bentak ibu sambil menyodorkan hasil ujianku pada ayah.

Mendengar perkataan ibu, aku menitikkan air mata. Bagai seorang pecundang, aku segera berlari menuruni tangga dan pergi meninggalkan rumah.

Dari kejauhan, kulihat ekspresi ayah. Sepertinya ia sedikit khawatir. Akan tetapi, aku melihat ibu yang datang dan tampak membisikkan sesuatu pada ayah dengan wajah merah yang mulai memadam. Setelah itu, raut wajah ayah berubah. Ia kembali memasang wajah datarnya, persis seperti raut wajah ibu.

Akhirnya, aku memutuskan untuk melanjutkan hari – hariku di taman di komplek sebelah, dimana tidak ada seorangpun yang akan mengenalku. Entah mengapa, aku pergi ke taman tersebut. Sebenarnya, aku tidak ingin menyulitkan Kath atau Jac, atau mempermalukan ayah dan ibu didepan mereka. Mulai sekarang, aku akan mengatasi masalahku sendiri.

Keesokan paginya, aku terbangun. Aku tertidur di sebelah pohon disudut taman tersebut. Tanpa ku sadari, berdirilah seorang pria kekar dan bejanggut tebal disebelahku. Aku dapat melihat tato – tato yang terlukis berjejer di tangannya. Ia mendekatkan ujung pistolnya ke kepalaku. Rasanya, aku ingin berteriak histeris. Tapi, pria itu sudah mengancamku duluan. "Jangan berteriak, ikuti aku sekarang, atau peluru dalam pistol ini akan menghamburkan isi kepalamu!" teriak pria itu. Mendengarnya, aku hanya bisa merinding dan menitikkan air mata. Dengan pasrah, aku mengikuti perintah pria itu.

Saat itu, taman masih sepi karena masih sangat pagi. Belum ada warga yang berlalu- lalang di taman itu. Aku pernah mendengar cerita dari teman- temanku di sekolah bahwa komplek disebelah komplek aku tinggal, atau lebih tepatnya tempat aku berdiri sekarang, memang rawan kegiatan kriminalisme. Namun, memang salahku karena justru malah pergi ke tempat tersebut. Karena kekecewaanku yang berlebihan, ragaku sendiri yang membawaku ke tempat ini.

Pria itu menarik tanganku dengan ujung pistol itu masih menempel di kepalaku. Tiba – tiba, muncullah setitik cahaya yang sangat terang tepat di depan mataku. Lama kelamaan, setitik cahaya tersebut semakin membesar dan entah mengapa, aku terbawa kedalamnya. Namun, anehnya pria yang tadi menodongiku senjata malah hilang begitu saja. Tak lama, aku terjatuh dan terbaring di lorong cahaya itu.

-----------------------------------------------

Halo. Hari ini aku update sampai chapter 3, yaa. Aku akan update  satu chapter setiap 1 - 3 hari sekali.

Maaf kalau ada kesalahan, seperti typo atau yang lainnya. Makasih buat yang udah baca cerita ini, buat yang vote dan comment juga makasih banyaaak...

Tunggu chapter selanjutnya, yaa...

Petualangan Chloe (REPUBLISH)Where stories live. Discover now