Part 7 Stages of Grief

44 9 2
                                    

"Mengapa? Kau tidak harus menceritakan apapun kepadaku. Aku tidak ingin kau mengungkit sesuatu yang pernah melukaimu." ucapku pada Allegra Danish.

Dia tidak perlu menceritakannya. Itu bukan bagian dari group therapy ini.

Aku mungkin belum terlalu peduli padanya, tapi aku tidak ingin dia membuka luka lama yang telah susah payah dia tutup.

Allegra Danish mengangkat bahu, "Membicarakan itu sudah tidak menggangguku lagi. Aku sudah berulangkali menceritakannya. Aku ingin kau tahu bahwa keluar dari cangkang depresi itu bukanlah hal yang impossible. Jadi, dengarkan aku baik-baik. Lagipula, aku sudah kehabisan bahan obrolan denganmu."

Aku menjawab tanpa berpikir, "Kita tidak perlu mengobrol kalau begitu."

"Kau bercanda, ya? Kau pikir apa tujuan group therapy ini, huh? Apa kita hanya akan duduk dan saling menatap? Jujur saja, Logan. Kau memang charming. Tapi aku belum tertarik denganmu."

Charming?

Apakah itu sarkasme?
Aku sama sekali tidak charming.

"Oh, shut up." ujarku sambil memutar bola mata.

Allegra Danish menatapku tajam, "Nope. Kau yang diam. Oke, kembali ke topik pembicaraan kita yang serius." Dia berdeham lalu melanjutkan, "Kau harus tahu, Logan, jika dalam berduka pun ada tahapan tertentu. Denial, Anger, Bargaining, Depression, dan Acceptance."

Aku sudah tahu itu.

Psikiaterku dulu pernah menjelaskannya.

Aku sudah melewati tiga tahapan awal, dan sekarang aku berada di tahapan keempat.

Kupikir, mungkin memang disitulah aku akan berakhir.

Aku tidak bisa menuju tahapan kelima karena aku tidak bisa berdamai dengan konflik yang berkecamuk dalam diriku.

Rasa bersalah, rasa kehilangan, dan penyesalan.

Allegra Danish melanjutkan ceritanya, "Ada beberapa hal krusial yang akhirnya membuatku depresi. Yeah, kau berpikir aku tidak perlu mengatakannya, tapi aku ingin. Yang pertama adalah perceraian kedua orang tuaku—"

Orang tua Allegra Danish bercerai saat dia berusia 12 tahun.

Perceraian itu bukan perceraian yang damai, tetapi penuh permasalahan.
Perebutan hak asuh dan sebagainya.

Semua hal itu mempengaruhi mentalnya.

Kemudian, setelah konflik perceraian kedua orang tuanya mereda, datanglah konflik lain.

Ibunya memutuskan untuk menikah lagi.
Saat itu Allegra Danish berusia 14 tahun.

"—hal krusial kedua adalah verbal abuse yang dilakukan oleh ayah tiriku."

Awalnya, ayah tiri Allegra Danish memang terlihat seperti orang baik.
Enam bulan setelah pernikahan, tampaklah warna asli dari ayah tirinya itu.

"Orang itu akan mencaci makiku jika aku melakukan sedikit saja kesalahan. Tapi dia tidak pernah melakukannya di depan Momma. Kalimat yang keluar dari mulutnya selalu berhasil membuatku merasa tidak berguna dan membuatku menangis setiap malam. Kupikir dia hanya melakukan ini padaku. Namun suatu hari aku melihatnya mencaci maki Momma." Allegra Danish memandang suatu titik di kejauhan dengan dendam yang begitu nyata tergambar di wajahnya, "Aku juga melihatnya memukul Momma."

No way.

"Astaga. Lalu apa yang terjadi?" tanyaku.

"Aku menghubungi polisi, tentu saja. Tapi sebelum aku sempat berkata apapun, orang itu memukul Momma sangat keras hingga membuatnya terjatuh dan tak sadarkan diri. Aku menjatuhkan telepon itu lalu menyerangnya. Aku benar-benar kehilangan kontrol diri. Aku tidak peduli lagi bahwa dia jauh lebih kuat dan besar dariku. Aku hanya ingin dia kesakitan. Aku memukul, mencakar, menendang—aku tidak terlalu ingat kelanjutannya. Dia menamparku dan aku pingsan."

Allegra Danish menghela nafas panjang, seolah menceritakan kenangan tersebut menghabiskan energinya.

"Kau bisa berhenti."

"Oh, tidak. Aku sudah bilang padamu bahwa membicarakan ini tidak menggangguku lagi."

"Tapi membicarakan itu menghabiskan energimu."

"Kau khawatir padaku?"

Giliranku yang menghela nafas.

Berdebat dengan Allegra Danish ternyata pointless dan tidak penting.
Lebih baik aku membiarkannya bercerita.

"Oke, terserahmu. Silahkan bercerita, aku akan duduk manis di sini dan mendengarkan suaramu yang indah."

Allegra Danish menggelengkan kepalanya, "Sarkasme tidak cocok denganmu, Logan. Diamlah dan dengarkan aku."

Tapi dia sudah menceritakan dua hal yang membuatnya depresi. Kenapa dia masih ingin melanjutkan ceritanya?

Mungkinkah masih ada hal lain yang menyebabkannya depresi?

Oh Tuhan.

Berat sekali cobaan hidupnya.

*****

Don't forget to click the follow and the vote buttons! Komen ya bagaimana pendapat kalian:) See you in the next chapter.

ALLEGRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang