Part 1. Cinderella Celdam

12.6K 521 54
                                    

Penghujung tahun yang selalu sama. Aku dan pekerjaan-pekerjaan kantorku.

Mungkin ini risiko karena aku memilih Jakarta dan sebuah perusahaan besar untuk tempat bekerja. Jika aku memilih bekerja di sebuah kota kecil, di suatu perusahaan yang lebih kecil, tentu ceritanya akan berbeda―kurasa.

Aku menghela. Jika aku tidak punya sesuatu yang bernama tanggung jawab maka aku sudah pergi meninggalkan semua pekerjaan yang menumpuk itu sekarang dan menyanggupi acara jalan-jalan dengan teman-teman.

Jika ada yang berpikir bahwa pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk di akhir tahun adalah akibat kemalasanku, itu salah besar. Laporan-laporan itulah yang datang sangat terlambat ke mejaku. Aku pernah memaksa rekan kerjaku untuk mengirimkan laporan lebih cepat, namun itu percuma, tetap sama, laporan-laporan itu tetap terlambat dengan segala bentuk alasan yang membuatku sakit kepala saja.

Jadi, setiap akhir bulan atau akhir tahun seperti sekarang, aku harus berusaha keras agar semua pekerjaan yang dilaporkan terlambat kepadaku itu bisa selesai tepat waktu. Sepertinya tidak seorang pun mengerti dan mengetahui seberapa keras aku bekerja, tidak ada. Dan bodohnya, aku tidak peduli akan itu, aku tidak memikirkannya karena yang kupikirkan hanyalah bagaimana aku harus menyelesaikan pekerjaanku tepat pada waktunya, hanya itu.

"Oh, bodohnya kamu Archie! Kapan kamu akan punya waktu untuk dirimu sendiri kalau terus begini?" Aku bicara dengan diri sendiri. Tentu hanya itu yang bisa kulakukan jika sedang sendirian seperti sekarang.

Aku menghela kesekian kali. Lorong lantai tujuh belas begitu sunyi malam ini. Hanya ada aku dan suara hak sepatuku yang berdetak-detak menabrak lantai.

"Mbak."

Aku nyaris berteriak saat sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakangku dan ketika berbalik dengan segera kudapati seorang perempuan berambut tergerai panjang di sana.

Aku menghela, lagi. "Kara? Ngagetin, aja, kamu. Tiba-tiba muncul di belakang kayak gitu. Gak kedengaran langkahnya pula."

Dia teman satu kantorku, beda divisi.

Kara tersenyum. "Hehehe, sorry, Mbak. Tadi dari toilet," ujarnya. "Sekarang mau balik. Kerjaan udah selesai."

Oh, beruntungnya dia.

"Mbak mau lembur lagi?"

"Iya."

"Semuanya sudah pulang, lho, Mbak. Begitu rapat selesai jam sembilan tadi, semuanya langsung balik," jelas Kara.

Sendainya aku juga bisa pulang cepat.

"Mbak!"

"I, iya?" Entah dia suka sekali membuat kaget atau aku yang terlalu lelah hingga menjadi sering sekali terkaget-kaget, tapi suaranya itu benar-benar mengusikku. Baru saja aku membayangkan bisa pulang lebih cepat agar dapat menghabiskan waktu dengan diri sendiri atau beberapa teman dan suara Kara segera menghancurkan bayangan indah itu.

"Mbak, kantong belanjaannya bolong, tuh." Kara menunjuk ke arahku.

Aku mengangkat alis dan segera menoleh ke arah kantong plastik putih di tanganku. Bagian bawah kantong plastik itu sepertinya bocor. Beberapa isinya sudah keluar.

"Ke, ke mana? Di mana?"

"Itu." Kara menunjuk ke sepanjang lorong di belakangnya.

Mataku melebar menatap beberapa pakaian tercecer di lantai. "Kara! Kok, nggak bilang dari tadi?"

Kara garuk-garuk kepala. "Lagian kenapa bawa-bawa pakaian ke kantor, sih, Mbak?"

"Bukannya bantuin malah ngajak ngobrol melulu," aku protes sembari menghampiri pakaianku yang tergeletak manis di lantai dan memungutinya.

Cinderella CeldamWhere stories live. Discover now