Bagian Tiga

12 0 0
                                    

Pembicaraan yang panjang dan menyenangkan. Belum pernah sekalipun kau menyangkal kenyataan, menyanggah pendapatku, atau kita beragumen tentang satu hal. Semuanya berjalan begitu lancar, sepertinya Yang Maha Kuasa sedang memberi tahu kita berdua. Kalau tak perlu mencari lagi yang lain, penggalan jiwa telah ditemukan dalam waktu yang tepat.

Namun rupanya perkiraanku jauh berbeda. Karena kehidupan tak selalu berjalan mulus dan lurus. Akan selalu ada sesuatu hal yang menjadi batu sandungan di setiap kali manusia menjalankan kehidupannya. Bukankah begitu? entah itu dari internal diri, atau external. Tak pernah kubayangkan sebelumnya kalau akhirnya aku bertemu sosok yang sepertimu.

Kau pria yang menawan, meskipun terkadang banyak orang menganggap wajahmu pasaran. Bukan, yang menawan dari dirimu, bukan wajahmu. Aku bahkan tak peduli itu. Ku ulangi lagi, kau memang sangat menawan, dengan jiwa, pemikiran, dan tuturmu. Itu yang membuatku tertawan hingga saat ini. Mencoba menahan rasa cinta untukmu yang sering kali memaksa untuk tumbuh. Karena tak ada alasan untuk tak mencintai pria menawan seperti dirimu.

Aku perempuan, harusnya kau yang lebih dulu mencintaiku. Maka aku harus bersabar menunggu saatnya kau jatuh cinta padaku, sembari menahan rasa yang semakin hari semakin kalut saja. Tapi kenyataan yang kutemui hari ini, kejujuran yang kau ungkapkan barusan. Hampir melibas habis rasaku padamu.

Kita berdua rupanya berada di jalan yang sangat-sangat berbeda. Ada tembok luar biasa tinggi yang menyekat jalan kita. Meskipun kau pria yang baik, dicintai banyak orang, diterima banyak manusia baik disekitarmu, apapun yang kau hasilkan selama ini berujung pada keberhasilan. Membuahkan pemikiran yang diinginkan banyak orang. Tapi ketika jalan kita tak sama, itu artinya aku akan benar-benar menahan rasa cintaku padamu untuk saat ini.

Kalau saja yang kau ungkapkan padaku, hanya tentang masa lalumu yang sama pekatnya dengan masa laluku. Aku masih bisa menerimanya, bahkan aku tak akan menguliknya di hadapanmu. Kan kusimpan itu baik-baik di peti masa lalu, agar ia tak menyakiti salah satu dari kita.

Kalau saja yang kau ungkapkan tentang keadaan hatimu yang masih dikuasai perempuan lain. Aku masih bisa memahaminya. Kau manusia yang berhak memilih dengan siapa kau ingin meneruskan hidup. Kalau misal tak bisa bersamaku, aku pun akan menerimanya dengan ikhlas. Menambahkanmu di deretan teman baikku yang sevisi.

Kalau saja begitu...

Tapi takdir berkata lain.

Hari ini kau ungkapkan, seperti apa jati dirimu sesungguhnya. Kau ungkapkan siapa Tuhanmu yang sebenarnya. Ya.. baru kupahami kalau kita punya kepercayaan yang sangat berbeda. dan kau tahu? saat itu, aku berlindung pada Allah, penggenggam jiwaku yang sesungguhnya.

Aku tak ingin sekalipun dibutakan akan cinta. Aku tak ingin kebaikanmu di dunia mengelabui pandanganku terhadap apa yang ada di belakangmu. Kepercayaan kau akui sebagai kepercayaan paling luar biasa, di agamaku adalah salah kaprah. Dan aku tak ingin kita terjebak dalam perbandingan agama yang nantinya akan membuat suasana jadi lebih runyam.

Situasi ini, menyeret ingatanku pada sebuah berita yang kemarin sore kudapatkan dari seorang teman. Melalui surel ia mengatakan kalau teman kami yang lain telah pindah ke Belanda, sekaligus pindah agama, karena itu yang dituntut suami barunya. Padahal temanku itu, orang yang paling pintar menjaga imannya. Ia perempuan cerdas yang di anugerahi penampilan luar biasa oleh Sang Pencipta Allah Ta'Ala. Namun semua itu seakan tak ada artinya lagi, ketika ia sudah menanggalkan hijabnya, hidup meninggalkan perintah agamanya, dan menerima ajaran agama baru, yang dari awal ia mengerti kalau keyakinan itu salah kaprah. Mungkin saja ia tak enak hati dengan pria yang sekarang menjadi suaminya, yang telah memberi segala dunia padanya, hingga ia harus rela memberikan iman. Satu-satunya yang paling berharga yang dimiliki seorang muslimah.

Lagi-lagi ingatanku terseret ke empat tahun silam. Sahabat baikku, rela meninggalkan segala-galanya hanya karena ingin menikah dengan pria yang dia cintai. Ia tinggalkan imannya, agamanya, adiknya, keluarganya yang masih perlu dirinya saat itu. Semua itu karena cinta, ya... cinta yang terlalu membutakan.

Mungkin kan itu terjadi? Semua itu bisa saja karena sebuah presepsi kalau hanya lelaki ini lah yang bisa membahagiakan diriku, lelaki inilah yang dipilihkan tuhan untukku, ya!! lelaki inilah yang akan membuatku merasa hidup. Dan saat ini, aku merasa terjebak dalam hal yang sama.

Empat tahun yang lalu, bahkan kemarin sore, aku masih berpikir kedua temanku itu benar-benar bodoh! kalau sampai meninggalkan Imannya sendiri hanya untuk dunia yang sementara. Dan kini aku mengerti, saat mereka memutuskan untuk melakukan itu, memang sangat sulit, aku bisa merasakannya sendiri.

Meskipun aku tahu, kisahku denganmu belum terlalu jauh. Tak ada salahnya bila aku berbalik arah, menghilang mungkin? tak meninggalkan kabar, atau bahkan tak membalas pesanmu yang terakhir di surel ku mungkin? bisa saja itu kulakukan.

Sayangnya, aku bukan tipe perempuan yang mudah menyerah, apalagi pasrah. Tunggulah aku sebentar saja, untuk merangkum kata yang paling baik untuk memberitahumu kalau kita berbeda keyakinan. Kalaupun kau berniat untuk membuatku jatuh cinta dan berpaling kepada keyakinanmu, kali ini aku juga berniat untuk membuatmu jatuh cinta dan mencintai keyakinan yang kuyakini. Apakah aku salah menurutmu? mungkin saja begitu, tapi menurutku, tindakanku tak bisa disalahkan. Kedua temanku saja bisa pindah keyakinan mengikuti pasangan hidupnya. Mengapa sekarang bukan kau yang mengikuti keyakinanku? bukankah itu adil? 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 03, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jatuh Cinta Di Awal SenjaWhere stories live. Discover now