🌙02 - Pacar

138 8 0
                                    

Waktu terasa tak berjalan dengan semestinya, hari itu tak kunjung datang, hari di mana aku dapat bersamamu tanpa harus menyimpan rasa dengan sembunyi-sembunyi.
S E M E S T A

"Mumpung ekstra libur, temenin gue yuk!"

"Kemana?"

"Biasa, Surga."

"Beliin gue tapi."

"Yuk!"

Jemari mereka bertautan. Hal itu menimbulkan efek besar bagi detak jantung Lentera. Tiga tahun lamanya ia menjalin hubungan yang dianggapnya masih buram -tidak jelas statusnya. Cowok yang setiap hari mengisi waktu luangnya -juga ruang hatinya, tidak jua memberi kejelasan terhadapnya.

Bertahun-tahun mereka bersama, saling menyayangi. Entah rasa sayang yang seperti apa, namun Lentera sudah luar biasa senang mendengar Alam Semesta mengungkapkan rasa sayangnya secara langsung tanpa rasa sungkan.

"Lo mau beli apa?"

"Thai thea yang ice coffee. Pake bubble, ya?"

"Oke, cantik."

Lentera tersenyum begitu saja. Dasar buaya darat, makinya dalam hati.

"No, gue bukan buaya."

"Stop gunain indera kesembilan lo itu, Semesta!"

Semesta menyipitkan matanya, "Indera gue cuma enam."

"Iyain."

Semesta melanjutkan kegiatannya memesan thai tea. Ia tersenyum begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Selalu saja begitu. Gadis yang disayanginya selalu membuatnya bahagia dengan cara-cara yang tidak terduga.

"Bang, thai tea ice coffee dua. Meja nomer 13."

"Sip. Bentaran yak."

"Hm."

Semesta kembali menuju meja nomer 13. Dari jauh, ia melihat Lentera tengah menulis di buku kecil. Mungkin buku harian, pikirnya. Barang sejenak, gadis itu menutup buku yang bergambar edelweiss, kemudian dimasukkannya ke dalam tas.

"Lo tau nggak sih?"

"Tau apa, hm?" Semesta meresponnya sembari menatap Lentera.

"Gue tadi dideketin cowok, kelas Mipa 8. Dia bilang gini, 'Lo cantik'. Dia kurang update keknya."

"Maksud lo?"

Lentera membuang napasnya kasar. Ia gemas karena Semesta tidak juga mengerti, "Dia kudet, gue dari dulu cantik. Ya nggak?"

"Dih, songong!"

Lentera tertawa geli. Senang sekali jika ia mampu membuat Semesta jengkel karena ulahnya. Mereka kemudian melanjutkan perbincangan. Sesekali mereka tertawa karena ketidakjelasan mereka berdua. Dunia serasa milik berdua.

- S E M E S T A -

Semesta sampai di kediamannya. Ia menuju dapur saat mencium bau masakan mamanya. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, juga satu adik laki-lakinya yang bernama Angkasa. Keluarga mereka memiliki satu peraturan, tiga turunan mereka harus menggunakan nama yang tidak biasa. Sebelum Semesta lahir, papanya telah menyiapkan nama Dirgantara, tetapi ibu dari papanya tidak berbicara berhari-hari hanya karena nama itu.

Aneh. Setidaknya Semesta bersyukur karena keluarganya bukan keluarga biasa.

"Lagi masak apa, Ma?"

"Tebak aja, Bang. Gitu aja nanya."

"Mama peemes ya?"

"Tebak aja, Bang. Gitu aja nanya."

Semesta menatap tak percaya pada mamanya. "Yaudahlah, Abang mau ke kamar dulu. Mau mandi biar ganteng."

"Iya."

Semesta tidak menanggapi keanehan mamanya. Setiap tanggal 10, selalu saja begitu. Entah apa masalah yang ada dalam hidup mamanya. Ia tak pernah paham.

"Males mandi. Udah ganteng gini."

Semesta menuju balkon kamarnya. Ia menyibak tirai yag menutup aksesnya. Ia tersenyum saat menatap ke arah kolam renang yang mana terdapat adik dan ayahnya yang tengah berenang sore.

"Bang, sini main sama Aa!"

Semesta berdecak, "Males. Dingin, A."

Papanya hanya menggeleng. Anak laki-lakinya yang beranjak dewasa itu pasti sedang buruk moodnya. Ia paham benar dengan sifat Semesta, karena Semesta adalah replikanya.

Dibiarkannya Semesta yang sedang melamun di balkon kamarnya. Sementara ia akan melanjutkan kegiatan berenang dengan putra kecilnya.

Semesta mendesah berat. Bukan karena mamanya yang tidak jelas ataupun sang papa yang pasti sedang menerka-nerka masalahnya. Tetapi, ia memikirkan bagaimana ia masih jomblo sementara sebentar lagi sekolahnya mengadakan prom. Menurutnya, ia sudah lebih dari tampan. Otaknya cerdas dengan IQ 148. Ia lucu dan humoris. Mengapa ia masih belum memiliki belahan jiwa?

Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya yang bernuansa monokrom. Ia merebahkan diri di atas kasur empuknya dan tertidur pulas.

Di belahan dunia lain, Lentera sedang menyibukkan diri membantu bundanya memasak untuk makan malam. Ia berbakat memasak, jadi ia tidak takut ia akan mati kelaparan ketika ditinggal pergi orang tuanya ke luar kota.

"Ra, gimana sama Bang Tata?"

Lentera menjawab, "Gimana apanya, Bun? Dia baik-baik aja kok."

"Maksud Bunda, gimana kejelasan hubungan kalian. Sebentar lagi kalian bakalan lulus kan? Jadi, Bunda pikir kalian akan ada kemajuan. Udah tiga tahun loh."

Lentera menghentikan aktivitas memotong wortelnya. Ia menolehkan kepalanya. Ia tersenyum singkat, namun rasa nyeri menyerang dadanya, "Lentera sama Semesta sahabat, Bunda. Memang apalagi yang diharapin sama Bunda?"

"Bunda juga pernah muda, Ra. Bunda tahu gimana perasaan kamu karena kamu dan Bunda sama-sama perempuan," Bundanya menarik napas sejenak, "Apa salahnya kamu ungkapin duluan? Ini zaman modern. Bunda malu sama Ibu Kartini, tahu nggak?"

"Emangnya kenapa malu, Bun?"

"Emansipasi wanita, cuy."

"Oh."

Lentera mengangguk-anggukan kepalanya. Ya kali gue bilang ke Semesta duluan, yang ada malah ngerendahin diri sendiri, hatinya ikut berbicara.

"Bunda nggak mau tahu, di ulang tahun kamu yang ke-19 tahun kamu harus bisa rubah status kamu!"

"Status apa, Bun?"

"Hey there! I'm using whatsapp."

Lentera cuek, "Kalau itu udah dari dulu, Bun."

"Pokoknya empat bulan lagi Bunda harus denger berita kamu jadian sama Bang Tata, titik!"

"Tapi, Bunda barusan pakai tanda seru."

"Bodo."

- S E M E S T A -

S E M E S T AWhere stories live. Discover now