06. Buruk

5K 878 18
                                    

"Punggung gue sakit adooooh!!!"

Keluhan itu kembali terdengar. Recan dan Alexi sudah jengah sedari tadi, ingin rasanya pulang namun urung melihat tatapan tak bersahabat dari Arjuna. Jadilah mereka mengeluh sedari tadi, apesnya Arjuna tak sadar, bola saja yang terus di notice.

"Kaki gue lecet adaw!" Alexi menjerit heboh.

"Kaki doang? Ini punggung gue sakit anjer!" timpal Recan.

"Alay lo semua, mulut gue lecet, mau apa?!" Gavin menyela ketus.

Recan dan Alexi terdiam di buatnya. Sudah tahu, mood Gavin sedang memburuk. Tidak tahu juga, Gavin memang selalu marah-marah tidak jelas bila sedang kelelahan.

Recan berjongkok di pinggir lapangan, memisahkan diri dari Arjuna dan tim basket kelasnya yang masih berlatih. Mengatur nafasnya yang tak beraturan, sedangkan matanya menatap Arjuna yang masih menggiring bola dengan semangat.

Terlalu semangat jika diperhatikan.

Heran.

Recan tahu, dia sedikit tahu kebiasaan Arjuna. Mereka berada di satu eskul yang sama, basket. Tahu betul bagaimana karakter Arjuna bila dihadapkan pada sebuah pertandingan. Biasa saja, malah terkesan cuek dan tak peduli, meskipun itu pertandingan penting sekalipun.

Sudahlah, terserah Arjuna saja. Mungkin pintu hati Arjuna terketuk karena kecelakaan di pertandingan tempo lalu. Iya kan saja.

"Jun!" teriak Recan dengan cemprengnya.

Arjuna menoleh, dengan keringat yang bercucuran. Hal itu membuat keributan kecil, dimana para gadis yang baru saja keluar kelas menjerit kecil melihat Arjuna.

Lain kali ingatkan Recan untuk tidak mengajak Arjuna berlatih saat free class. Tidak baik, apalagi melihat semangat Arjuna saat berlatih, hingga bel pulang berbunyi pun masih belum berhenti juga.

Recan berlari kecil menghampiri Arjuna, "Gak cape apa?" tanyanya jengah.

Arjuna menoleh padanya, namun Recan melihat alis Arjuna yang bertaut saat melihatnya. Ah, maksudnya melihat ke belakangnya.

"Gak." singkat Arjuna, kembali menggiring bola meninggalkan Recan yang mendadak bingung.

Recan cemberut mendapat jawaban singkat lelaki itu, tatapannya tertuju pada Gavin yang ternyata sedang menatap ke arahnya. Ketika Gavin menunjuk sesuatu--lebih tepatnya seseorang, ia heboh seketika.

"JUN- ANJIR!"

"ITU LEMPARNYA KE RING, BUKAN KE MAHESA WOI!"

○○○











"Kita sekelompok, seneng gak?"

Aruna menoleh dan menemukan Mahesa yang mengajaknya berbicara. Gadis itu menoleh kesana-kemari. Bisa dilihat beberapa tatapan aneh dari teman sekelasnya yang ditujukan padanya. Semenjak bertemu dan sempat mengobrol di pesta tempo lalu, Mahesa memang kerap kali berusaha mengajaknya berinteraksi di kelas maupun ketika eskul

"Nggak." sahutnya datar, lalu berjalan cepat meninggalkan kelas.

Mahesa tak sadar juga. Lelaki yang selama ini dianggap paling cuek oleh teman-temannya itu kini menyamakan langkahnya dengan Aruna.

"Gue pengen temenan sama lo." katanya lantang, kembali mengundang tatapan dari anak kelas lain, karena saat ini mereka sedang berada di koridor.

Aruna menghentikan langkahnya, berbalik sebentar dan kembali melangkah lebih cepat. Mahesa mengejarnya, tentu  saja. Dan hal ini mengundang tatapan penasaran dari orang-orang. Sialnya lagi, lelaki itu tak mengerti bahwa dirinya tak suka menjadi pusat perhatian.

"Aruna, tunggu dih!" Aruna berjalan cepat, hampir membuat Mahesa tertinggal. Namun tetap saja kaki lelaki itu lebih panjang hingga bisa mengejar langkah Aruna.

"Na!"

"Apa?"

Mahesa tersenyum, lagi mengundang berbagai tatapan dari orang lain. Aruna tak menyukainya, sungguh. Gadis itu tahu betul bahwa Mahesa, ketua kelasnya bukan murid biasa. Lelaki itu, sejenis dengan Arjuna, digilai kaum hawa karena berbagai macam daya tariknya.

"Tali sepatu lo, copot."

Aruna menunduk, "Ap--" ucapannya terputus melihat Mahesa yang tiba-tiba berlutut di depannya, membenarkan tali sepatunya.

Di pinggir lapangan, banyak yang menyaksikan, dengan Arjuna yang menatap tajam padanya, lengkap sudah.

Oh, jangan kira Aruna tidak menyadari tatapan Arjuna sejak ia melewati lapangan. Sadar, sepenuhnya sadar. Lagipula siapa lagi yang mempunyai tatapan semenyeramkan Arjuna? Tidak ada menurut versi Aruna.

"Mahesa." panggilnya.

Mahesa mendongkak, "Gu-"

DUK

Aruna sadar, seharusnya ia berlari lebih cepat daripada Mahesa. Jangan membiarkan lelaki itu mengejarnya hingga terlihat di penglihatan Arjuna. Hidung Mahesa berdarah, karena bola basket yang Arjuna lempar tepat mengenai muka lelaki itu sewaktu mendongkak ke arahnya.

Heboh seketika. Terutama suara teman Arjuna yang membuat Aruna pusing seketika. Gadis itu mundur perlahan ketika Mahesa dikerumuni banyak orang. Biarlah Mahesa ia tinggalkan, masih ada urusan yang lebih penting daripada ini.

Tentu, Arjuna yang meninggalkan lapangan dengan wajah merahnya.

Itu buruk,

untuk Aruna.

○○○




Dah ah, babay. Mau malmingan apa Om Jae.

D e s i r e dTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang