Catatan 1: Hobiku Mencoret-coret

53 6 0
                                    

Catatan 1:
Hobiku mencoret-coret

Sejak kecil, nyaris setiap hari orangtuaku harus mengendalikan tanganku yang tidak bisa berhenti mencoret-coret. Dinding, lantai, meja, kaca, kertas pekerjaan Ayah, di muka Ibu, pohon, jalanan, pintu rumah orang, panci tetangga (nanti dulu cerita bagaimana aku bisa masuk ke sana).

Kalau tidak mencoret, aku bisa gila.

Coretanku asal-asalan—itu komentar orang-orang sih, mungkin karena dulu gambar ataupun tulisanku buruk sekali sehingga tidak ada yang mengerti apakah itu tulisan atau ceker ayam. Padahal entah itu sebuah bayangan di suatu tempat, atau hanya khayalanku saja, terlihat jelas dalam benakku. Aku sangat beruntung kebiasaan itu mendadak berhenti karena insiden yang membuat orangtuaku sangat keras padaku jika keluar dari rumah. Aku diperbolehkan keluar hanya jika bersama salah satu dari mereka, dan tidak pernah boleh lepas dari tangan.

Waktu itu, aku ingat sekali sedang mencoret-coret di jalan batu. Pasar sedang sibuk-sibuknya. Orang-orang seperti sudah biasa dengan tingkah laku bocah dekil berusia 5 tahun itu, paling-paling mereka hanya—secara terang-terangan—berkata, "Itu si An berulah lagi, anak gila." Tidak satu pun bisa menghalangiku sekalipun aku dicerca. Hanya saja kondisinya agak berbeda. Ada rasa takut ketika aku sedang sibuk dengan duniaku sendiri. Tubuhku gemetar, isi kepalaku semrawut, keringat membasahi tubuhku dan sebenarnya sangat tidak nyaman memegang kapur.

Baru saja sesuatu merasuk ke dalam kepalaku. Dan selalu begitu, makanya aku butuh mencoret-coret untuk menenangkan diri. Namun kali ini visi yang berputar-putar berbeda. Aku ... aku melihat di sana ada ayah dan ibuku. Mereka berjalan di tengah api yang membara. Tertawa terbahak-bahak. Di sekitar mereka mayat bergelimpangan. Aku bahkan tidak yakin mayat-mayat itu sudah mati. Merintih kesakitan dengan anggota tubuh tidak lengkap, luka menganga, dan terbakar. Kengerian yang kurasakan bukan main. Nyaris aku tidak bisa membedakan mana kenyataan dan khayalan. Seolah-olah aku adalah salah satu dari tumpukan manusia yang tersiksa. Denyut di kepala serasa menghancurkan tengkorakku.

Visi itu masih tak terkendali hingga tiba-tiba seseorang menyentakku, memaksaku untuk berdiri dan menamparku. Gambar yang kubuat belum selesai, tapi dorongan kuat untuk melanjutkannya sudah hilang begitu aku sadar Ayah menamparku.

Orang-orang di pasar menjadikan kami teater gratis. Tidak lupa mengomentari gambarku yang menyeramkan. Sepasang perempuan dan laki-laki berjalan di tengah kobaran api, dan beberapa mayat yang belum selesai digambar. Aku pun melihat entah itu coretan gagal atau tampaknya aku sedang menulis sesuatu, bentuknya melengkung di atas kepala sepasang laki-laki dan perempuan itu dan bertumpuk-tumpuk seperti lapisan pelangi. Sekilas hanya seperti coret-coretan bocah kreatif, tetapi kalau diamati lagi seharusnya ini gambar orang dewasa sakit jiwa yang tidak punya bakat menggambar.

Belum pernah aku melihat Ayah semarah itu. Ia bahkan menyebutkan kata-kata menyakitkan. "Anak sialan! Berapa kali kubilang jangan berpisah?!"

Seketika tangisanku pecah. Memekikkan. Tangis itu tidak membuat keadaan lebih baik. Orang-orang semakin jijik denganku. Ayah semakin mengamuk. Ia menyeretku sampai tungkaiku tercekluk. Aku berusaha membenarkan posisiku lagi sambil merengek. "Sakiit .... Sakit, Ayah."

"Diam!" bentaknya.

Namun suara itu tidak terdengar seganas sebelumnya. Entah bagaimana aku tahu. Sepertinya Ayah juga merasakan pedih.

Apakah itu karena aku adalah anak aneh? Lagi-lagi aku mempermalukan Ayah di tempat umum, ya?

Setelah sampai di rumah, ia mengurungku di kamar. Namun sebelum itu dia melempar beberapa kertas dan pensil di hadapanku.

"Belajar mencoret-coret di tempat yang benar!" katanya, lalu membanting pintu. Ia lupa pintu kayu kamarku hampir rusak karena termakan usia.

Aku menangis sejadi-jadinya saat itu. Bukan karena Ayah, tapi karena keanehanku. Dan lagi, aku tidak pernah sampai kerasukan seperti itu, tidak sadar aku menggambar apa. Biasanya hanya ada pemikiran selintas dan aku berusaha menggambarnya sebaik mungkin.

Visi yang tadi masih menghantuiku. Apalagi memikirkan bahwa sepasang yang kulihat adalah Ayah dan Ibu.

You're My Quest: The Journal of the WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang