Catatan 2: Temanku, Elton, dan Kisah Keluarganya

32 4 2
                                    

Catatan 2:
Temanku, Elton, dan dan kisah keluarganya

Aku kabur dari kamar. Lagi pula, siapa yang ingin dengar aku terus-terusan meraung? Aku sendiri yang dengar pun lelah. Namun setidaknya selama aku terkurung dan hanya memiliki kertas (juga lantai, tembok, kasur, dan lemari, tapi tetap fokus di kertas), aku mulai sedikit terbiasa mencoret-coret di kertas. Ini yang akhirnya menjadi kebiasaanku menulis dan menggambar di jurnal sampai aku besar.

Satu-satunya jendela di kamarku adalah lubang kecil dari tumpukan bebatuan dinding rumah berlumut yang hanya bisa dilewati 2 ekor tikus. Pintu kamarku dikunci dari luar. Sebenarnya hanya butuh dua kali dobrak untuk melubangi pintu reyot itu, tapi aku tidak mau Ayah tambah pusing karena kalau aku berulah lagi, ia tidak punya pembatas untuk setidaknya merasa mengurungku. Lagi pula mengunciku sama sekali tidak berguna. Aku bisa keluar masuk semauku, tetapi seperti yang kubilang barusan, aku ingin ayahku merasa lega.

Di kolong kasurku ada banyak sekali barang yang kudapatkan dari luar. Baik cari sendiri ataupun pemberian. Salah satu dari benda pemberian inilah yang bisa membantuku keluar: segenggam pundi-pundi berisi serbuk cukup berat. Aku membuka ikatannya dan seketika cahaya emas bergemerlap menerangi kamarku yang temaram.

"An ... ayo, kenapa lama sekali?"

Aku hampir lupa bilang bahwa ada seseorang—sesuatu yang menungguku di luar jendela. Namanya Elton, seorang pria dewasa yang telah kehilangan keluarganya. Dulu ia tinggal di desa ini, tapi sekarang lebih memilih untuk menyendiri di hutan. Sesuatu yang buruk menimpanya sehingga ia tiba-tiba hilang dari desa. Lalu aku tidak sengaja bertemu lagi dengannya saat aku sedang bermain di sana, dan kami membicarakan banyak hal sampai bisa membuatku tertawa lepas. Sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh ayah dan ibuku, juga Elton sendiri.

Sejumput serbuk kuambil dan kusebar di sekitar tubuhku. Kupejamkan mataku, berkonsentrasi memikirkan gambaran area luar di balik tembok kamarku. Sesaat aku merasa tubuhku meringan dan terdapat sekelebat cahaya menembus kelopak mataku. Dengan cepat cahaya itu hilang dan aku merasakan udara dingin menyapu kulitku dengan lembut.

Napas Elton yang serak dan parau ada di dekatku sekarang. "Lama sekali. Kan aku sudah bilang aku tidak tahan berlama-lama di sini."

Aku menyeringai usil pada pria itu. Pria dengan tubuh bungkuk seperti tanaman layu, kulit pucat, dan mata biru keputihan yang kontras dengan biji mata hitamnya yang kecil. Sama sekali ia tidak mengenakan kain sehingga aku dapat melihat sekujur tubuhnya yang ringkih penuh luka-luka membusuk, urat-urat menonjol dari balik kulit, dan tidak ada sehelai pun bulu atau rambut di tubuhnya. Dan sesuatu yang menjadi ciri khas dari Elton adalah ia tidak memiliki alat kelamin. Keberadaan benda itu mengganggu kelangsungan hidupnya, begitu yang ia katakan, sehingga ia memotongnya. Aku tidak paham apa maksudnya, bagaimana cara dia buang air kecil?

Lalu kami berjalan pergi dari rumah menuju hutan yang mengitari desa kecil tempatku tinggal. Baru selangkah saja Elton sudah berceloteh tentang apa saja yang ia temukan di tengah perjalanan menuju ke sini. Seperti ia baru sadar di tempat tinggalnya yang baru, ternyata tanahnya memiliki wajah. Elton diusir karena buang air besar di mulutnya. Aku jadi penasaran ingin bertemu Tuan Tanah itu.

Elton dulunya adalah pria biasa yang mempunyai keluarga kecil untuk dinafkahi. Ia tidak semiskin keluargaku. Bahkan sering memberiku sisa makanan jualannya di pasar. Aku tahu ia pun memandangku dengan aneh, tapi hanya dia yang bisa mengobrol denganku lebih lama. Setidaknya, katanya, aku masih bisa diajak bicara seperti anak normal. Bahkan lebih penurut dari anaknya sendiri. Hanya kebiasaan menggambar dan menulis hal seram serta tidak tahu tempat yang membuat warga menganggapku gila.

Kalau ke hutan kami selalu pergi mendaki walau matahari mulai menyentuh ujung pepohonan. Meski begitu kami tidak pernah mendaki terlalu jauh karena Elton takut aku tersesat saat pulang. Padahal kalaupun tersesat pasti aku selalu menemukan jalan untuk kembali. Justru ibarat aku adalah ratu kerajaan yang jarang turun langsung ke daerah kekuasaannya yang memiliki beragam populasi dan tempat sampai-sampai sang ratu tidak kenal kerajaannya sendiri. Hewan liar, tanaman karnivora, sekumpulan roh hutan, selalu memastikan aku aman di hutan ini.

Kami duduk di tepi sungai, dekat dengan batu besar yang bisa dijadikan sandaran. Elton membuka percakapan lebih awal. "Bagaimana harimu?"

Pertanyaan paling membosankan. Aku sekadar mengedikkan pundak.

Meskipun wajah Elton sangat buruk, otot keningnya masih bisa berkerut menunjukkan kesedihan. "Dikurung lagi, ya?"

Aku masih tidak menjawab.

Dengan tangan kurusnya ia menepuk dan mengusap kepalaku. "An bisa tinggal di sini selamanya kalau mau. Sudah, jangan pikirkan soal ayah dan ibumu lagi."

Aku mendekatkan lutut pada tubuhku dan memeluknya.

"Mereka itu sayang padamu tidak, sih? Memberi makan iya, memberi tempat tinggal iya, memberi pengetahuan iya, tapi kenapa memperlakukanmu seperti itu?"

"Ayah dan Ibu sedih," akhirnya aku bicara.

Elton masih tak habis pikir, ia sampai menarik napas dan menegakkan tubuhnya. "Sedih? Bagian mana yang mereka terlihat sedih?"

Aku juga tidak tahu. Aku tidak bisa membuktikannya karena aku hanya dapat merasakan. Ekspresi murung mereka, selalu mencariku ketika aku hilang, menambal pakaianku kalau sobek, selalu tanya ingin makan apa, mengajakku ke suatu tempat, mengajariku mencoret-coret di tempat yang benar.

Mereka tidak pernah benar-benar membenciku bahkan memaksaku untuk berubah.

Mendapati tidak ada jawaban, Elton semakin mendesakku. "Semalam ini saja An di sini."

Ah ..., Elton mulai lagi.

"Biar roh hutan yang menyiapkan tempat tidurmu."

Sudahlah .... Ini sudah saran keseribu kalinya. Aku muak.

"Aku pun tidak bisa tidur jadi aku akan selalu menjagamu."

"Sudah!" Tiba-tiba aku berteriak, Elton sekejap membeku.

Jantungku berdetak sangat cepat. Saking cepatnya suhu tubuhku tidak beraturan, tanganku pun gemetar. "Elton juga sayang dengan keluarga, kan? Walau Elton memakan mereka?" tanyaku dengan keras.

Elton sedikit tersentak, mulutnya terbuka berusaha mengatakan sesuatu.

Aku lebih dulu melanjutkan hardikanku. "Rasa sayang itu tetap ada, kan, walau Elton berubah menjadi wendigo? Elton hanya tidak bisa mengendalikan rasa lapar terhadap manusia, dan sialnya malam itu Elton sedang ada di rumah makanya korban pertama—juga terakhirmu—adalah keluargamu sendiri. Begitu, kan?"

"Y-ya ...." Tangan Elton menjulur ingin menenangkanku.

Aku menepisnya. "Bukannya itu sama saja dengan orangtuaku? Perbedaannya akulah yang aneh, dan mereka terpaksa mengendalikanku supaya warga tidak benci pada kami. Kalau saja ada cara lebih mudah untuk mengendalikanku mereka pasti akan melakukannya. Tapi ... tapi yang kulakukan ...." Tiba-tiba aku sesenggukan. Dadaku sesak sekali. "Aku ... aku—aku hanya mengecewakan mereka."

Setelah itu hanya ada suara tangisku dan gemerisik daun tertiup angin malam. Elton tidak tahu harus bicara apa lagi, ia hanya bisa mengusap kepalaku. Perlahan mendekapku. Biarpun tubuhnya sedingin angin malam, aku sudah merasa lega ada yang bisa memelukku di sini. Mengekspresikan kasih sayang yang tidak tertutup oleh perasaan sedih, putus asa, dan marah, seperti ketika orangtuaku memelukku. Yang kurasakan dari pelukan Elton adalah empati.

Aku sungguh-sungguh ketika mengatakan itu barusan, tidak semata terjebak karena mereka sudah memenuhi kebutuhan pokokku jadi aku harus patuh. Orangtuaku tidak pernah benci padaku biarpun berkesan selalu menyembunyikanku, membelengguku. Itu karena mereka sedang awas jika aku tidak ada di sekitar mereka, mungkin mereka bermaksud untuk melindungiku selain untuk melindungi diri sendiri juga. Itu wajar. Siapa yang tidak putus asa jika dibenci masyarakat? Hubungan Ayah dengan rekan kerjanya menjadi sedikit sulit, setiap Ibu berbelanja di pasar ia selalu mendapatkan omongan busuk tentangku. Siapa yang tahan hidup seperti itu?

Tapi mereka tetap memutuskan untuk membesarkanku. Sekasar apa pun yang mereka lakukan aku bisa terima. Sambil itu juga aku berusaha memperbaiki diri. Mungkin saat itu, saat umurku lima tahun, jauh sebelum aku menulis ini, aku tidak paham perasaan sedetail itu. Sekarang, aku yakin inilah alasan mengapa aku tetap sayang pada mereka.

Akhirnya malam itu aku tidur di hutan. Para roh hutan mempersiapkan setumpuk dedaunan untuk dijadikan kasur dan selimut. Mereka juga menjaga api unggun tetap menyala. Elton tak jauh dariku sedang berpatroli.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 30, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

You're My Quest: The Journal of the WitchWhere stories live. Discover now