Prolog

24 4 2
                                    

Siapa yang tak suka weekend? Ya, semua orang tentu menyukainya. Aku salah satunya tapi tidak dengan kali ini. Sedari pagi hatiku amat kacau, bukan karena balon tapi karena sekarang, tepat pukul tujuh malam aku duduk di ruang tamu calon Ibu mertuaku.

Sesekali ku lirik Bang Idhang yang tampak tenang tak terlihat wajah panik, jujur karena sikapnya itulah yang membuat aku masih bisa bertahan di kursi panas ini.

Lima menit serasa setahun, hingga suara khas milik Bu Maryam menyapa kami. Seketika jantungku bekerja lebih cepat. Duh, angel Jum, angel ... Mau cari restu kok gini amat sih? Coba kalau cari Restu Sinaga, ketemu malah minta selfie-selfie habis itu pulang bisa dapat tanda tangannya pula ... Lha ini? rutukku sambil menelan ludah sendiri, pahit.

Aku tak bisa konsentrasi mendengar ceramah Bu Maryam hingga sampai pada kalimat “Apa ndak sebaiknya Idhang bekerja lebih giat lagi, kok buru-buru banget.”

What? kupingku nggak salah dengar, anak lelakinya sudah berumur dua puluh delapan tahun dan juga sudah bekerja, masih saja kurang? Apa nunggu anaknya jadi Presiden dulu kali? omelku yang lagi-lagi ku telan sendiri.

“Buk, kami datang ke sini mau meminta restu, bukan ingin berdebat,” sergah Bang Idhang cepat.

“Kalau Ibuk nggak kasih restu?” tanya Bu Maryam telak.

“Kami, kumpul kebo!”
Blarr ...

Kenapa kata itu yang keluar? Aku sendiri tak paham, dalam latihan kami kemarin tak ada istilah ‘kumpul kebo' di sebut. Duh, Bang kenapa nggak cari yang lebih kerenan dikit sih, kawin lari misalnya, batinku, seraya senyum-senyum sendiri.

Tapi, berkat kata-kata ‘sakti' itu, nggak sampai lima menit, restu sudah kami kantongi. Entah apa yang ada dipikirkan beliau yang jelas perjuangan belum berakhir. Masih ada satu syarat yang harus kami penuhi yaitu, sehabis menikah tidak boleh keluar dari rumah ini.
***
Hari H tiba, semua berjalan lancar hingga acara selesai dan teriakan Bu Maryam sontak membuyarkan lamunanku.

“Senja ... ngapain aja, masih siang juga.” Bu Maryam mengetuk pintu kamar berulang kali akhirnya Bang Idhang lah yang turun tangan menenangkan Ibunya.

“Alah, alasan bilang saja mau sayang-sayangan,” teriak Bu Maryam. Darahku seketika mendidih. Baru setengah hari jadi menantu di rumah ini rasanya sudah mau meledak, ingin aku keluar kamar dan melabrak Bu Maryam yang semena-mena menuduh tapi, urung ku lakukan karena Bang Idhang sudah kembali dan justru menutup pintu kamar.

“Mau ngapain Bang?” tanyaku polos. Bang Idhang hanya tersenyum lantas membawaku dalam pelukannya.

Besoknya demi menghindari cuitan yang bikin sakit telinga, pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur membuat sarapan, setelah sebelumnya aku mengulik makanan kesukaan Bu Maryam lewat Bang Idhang.

Saat tengah asyik mengoreng telur dadar, suara Ibu mertuaku yang cempreng itu lagi-lagi mengejutkanku. Genap sebulan, bisa-bisa jadi langganan tetap dokter jantung ini. Ih, amit-amit. Aku bergidik ngeri membayangkan. 

Inspeksi mendadak Bumer tentu saja membuat aku gelisah, beliau mengambil seiris telur dadar dan mencicipinya. Satu menit, dua menit. “Kurang asin, makanan kok hambar.” 

Begitulah hari-hariku. Ada saja hal-hal sepele yang di mata Bu Maryam itu salah.

Puncaknya sewaktu aku tengah mengerjakan pesanan risol sementara Bang Idhang di restoran kawannya seperti biasa.

“Ya ampun, ke mana semua sih penghuni rumah ini, Pada tuli apa? di luar hujan, jemuran belum diangkat?”

Aku tergopoh ke luar, dan ternyata baru mendung. Arghh ... cukup sudah! Aku tak peduli, biarlah dikata anak durhaka. Jeritku putus asa.

Mengapa Senja? Where stories live. Discover now