Kedatangan

14 4 2
                                    

Sambil bersenandung kecil, aku mengelap gerobak berwarna biru muda yang terletak di depan teras rumah kontrakan kami.

Sementara Bang Idhang pergi ke pasar membeli bahan-bahan untuk keperluan berjualan tahu lontong Sore nanti, jadi sebisa mungkin pekerjaan rumah lainnya selesai sebelum dapur mulai ngebul.

Baru saja beralih memegang gagang sapu, hendak membersihkan guguran daun pohon mangga yang terletak di sisi kanan halaman rumah, sebuah mobil travel berhenti dengan dua kali klakson untuk menarik perhatian.

Tentu saja jiwa kepo ku berontak. Aku berjalan mendekat, tak ada tanda-tanda penumpang turun.

Ini kan travel yang biasa di bawa sama Arif. Kepalaku clingak-clinguk memastikan, tapi nihil karena semua kaca tampak gelap.

“Woi, Mbak Senja, cari siapa?” sebuah kepala menyembul dari kaca samping kemudi. Aku terkejut, tebakanku benar dan perasaan tak enak mulai menyergapku. Aduh Bang Idhang mana sih, kok belum pulang-pulang. batinku cemas.

“Lah, dia malah bengong di situ, ini tolong bantuin bawa tas Ibuk,” teriakan Arif mengagetkanku. Buru-buru kuraih tas parasut warna cokelat itu dari tangannya kemudian mempersilakan masuk Ibu dan juga Arif.

“Idhang mana nduk?”
Mati aku. Ah, sebodo amat, lagian selama ini Ibuk juga tahu anak lelakinya suka masak jadi ke pasar nggak dosalah. Batinku mencari pembenaran. Akhirnya kata ‘pasar' meluncur juga dari bibirku, sembari menyajikan dua cangkir teh.

“Lha, kamu itu piye to?  Masak perempuan enak-enakan ongkang-ongkang kaki di rumah, sementara suaminya belanja.”

“Uwis to Buk, tadi sebelum berangkat ke sini Ibuk kan sudah janji ndak mau ribut-ribut lagi sama Mbak Senja,” tegur Arif berusaha menengahi.

Suasana mendadak hening, tepat di saat itu suara motor Bang Idhang memasuki halaman rumah. Aku bergegas menyambutnya, sekaligus membawa masuk barang-barang belanjaan ke dapur. Untuk sementara kubiarkan Ibu dan anak saling melepas rindu. Ya, kepergian kami dari rumah Ibu sudah sebulan lebih.

Aku sengaja menyibukkan diri di dapur, lagian dengan alasan menyiapkan makan siang nggak salah dong.

“Kerasan di sini Mbak?” tanya Arif yang tiba-tiba muncul. Aku tersenyum, adik Bang Idhang ini aku tahu dia care banget, walau usianya lebih tua dariku, tapi ia sangat menghormati posisiku sebagai kakak ipar.

“Oiya Mbak, kemungkinan Ibuk akan di sini selama seminggu. Nanti aku jemput lagi seperti hari ini.”
Aku mengangguk, kemudian meminta tolong Arif untuk mengangkat tempe dari penggorengan sementara aku membuat sambal terasi. Sayur asem jadi menu makan siang kali ini.

Kami makan sambil duduk lesehan di ruang tengah. Ku lirik Ibuk makan dengan lahap, Bang Idhang dan Arif pun sama, semua tampak menikmati.

“Berarti habis ini kamu langsung balik ke Tulungagung, Rif?” tanya Bang Idhang sambil mengambil tempe dan melumurinya dengan sambal, langsung dari cobeknya.

“Iya Mas, biasa bawa penumpang lagi, jam dua nanti aku cabut mau ke kantor dulu ngambil beberapa paket juga.”

Sementara para lelaki berbincang aku membereskan piring-piring sisa makanan dan membawanya ke dapur di ikuti Ibu. Oh Gusti paringono kulo kuat  mulutku komat-kamit udah kayak orang merapal mantra. Masih tenang tak ada percakapan di antara kami, aku tetap menyibukkan diri dengan mencuci piring dlpan beberapa peralatan masak.

Penasaran, aku melirik Ibu. Oh, lagi sibuk jadi pengamat rupanya bisikku geli, melihat tingkah Ibu mertuaku yang sibuk memerhatikan tiap inci dapur. Habis sibuk jadi pengamat sebentar lagi sibuk jadi komentator aku tertawa dalam hati.
Ekor mataku tetap mengikuti gerak-gerik Ibu. Kali ini langkahnya menuju ke halaman belakang yang berfungi sebagai tempat jemuran.

Mengapa Senja? Where stories live. Discover now