Tujuh - Bumi Berputar, Zaman Beredar

9.7K 1.4K 38
                                    

"Wahai jantung, semoga kamu bisa bertahan!" - Doa sang Pembimbing Anak Magang sepenuh hati.

Ela terbahak-bahak waktu mendengar ceritaku tentang acara lamaran Janina. Dia beranggapan kalau aku konyol. Faktanya adalah Ela hanya mengerjaiku tentang Baron dan Janina.

Aku sengaja belum bercerita tentang ucapan Baron yang berkata kalau aku manis. Kalau itu terjadi, Ela pasti akan lebih semangat lagi menggodaku. Lagipula itu pasti prank akal-akalan Baron yang mau melihat bagaimana tindakanku.

Untunglah kemarin aku masih sempat menahan raut wajah dengan senyuman datar lalu meninggalkan Baron dengan alasan mencari mama. Aku tidak peduli bagaimana tanggapannya tentangku.

"Lo masih marah sama Baron gara-gara kandidat asisten manajer itu? Gue dengar, sih, dia nggak tahu kalau lo udah dicalonin sebelumnya. Dia kan izin terlambat datang di hari itu." Ela menatapku setelah tawanya reda.

Ini adalah pagi hari senin yang cerah. Masih ada waktu satu jam sebelum waktunya aktif bekerja. Beberapa karyawan sudah datang dan memutuskan untuk sarapan bersama di kantin sehingga hanya ada aku dan Ela di ruangan ini.

"Nggak tahu. Gue masih kesal sih sama dia. Kalau ngomong nggak diayak. Terus kaya ngerendahin gue di hadapan anak magang," sahutku menyendok bubur ayam yang dibawa Ela untuk sarapan kami.

"Itu perasaan lo doang kali, Cass. Dia baik kok sebenarnya."

"Ih, lama-lama gue ngerasa kalau lo lebih ngedukung dia buat jadi asisten manajer dibanding dukung gue deh, El."

Ela terbahak lagi mendengar ucapanku. Untunglah bubur ayamku sudah habis kalau tidak, mood yang berantakan gara-gara Baron pasti membuatku kehilangan selera makan. Padahal mama selalu bilang pamali kalau makan tidak dihabiskan.

Menjelang pukul setengah sembilan, aku meninggalkan ruangan Ela dan bergegas masuk ke tempat kerjaku. Siang ini akan ada rapat direksi dan aku diminta untuk menyiapkan laporan dari tim Operations.

Semua anak magang sedang serius menghadap laptop mereka. Tidak ada camilan, hanya ada gelas kopi di meja mereka masing-masing. Tingkah yang membuatku mengernyitkan dahi karena heran. Biasanya mereka sudah heboh bekerja sambil bicara atau mengunyah. Tetapi sepanjang mereka tidak membuat ulah, sebaiknya aku pura-pura tidak menyadari saja keanehan itu.

Lantunan saksofon dari Kenny G untuk lagu The Girl From Ipanema terdengar. Kepalaku terangkat dan menatap DJ, Mamet serta Ai. Mereka bertiga terlihat sangat serius. Paduan saksofon dan keheningan di pagi hari ini semakin terasa aneh.

"Kalian baik-baik saja?" tanyaku akhirnya tidak tahan dengan suasana ini.

"Hah? Eh? Iya, Kak. Baik-baik saja. Kenapa emangnya?" Ai menjawab dengan pandangan bingung.

"Bukan apa-apa. Kalian lagi apa?" Aku mencoba mengabaikan suasana pagi yang cukup aneh ini.

"Kak, aku lagi bikin laporan untuk perkembangan project. Boleh ke sini untuk lihat?" Kali ini DJ yang meminta.

DJ adalah seorang laki-laki yang cukup terstruktur. Hal ini terlihat dari slide laporan yang dibuatnya begitu apik dan rapi. Dia fokus pada tema project pengembangan bisnis perusahaan dan loyalitas karyawan. Menitikberatkan pada agile leadership, DJ cukup kritis dalam menyikapi kondisi dunia yang terus berubah-ubah di era VUCA – volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity ini. Dengan kata lain, di dunia yang penuh volatilitas, ketidakpastian, kompleks dan penuh ambigu, perusahaan harus bersiap pada apa pun yang akn terjadi.

"Di bagian VUCA ini, kamu bisa menjelaskan lebih dalam lagi apa efek yang akan terjadi jika perusahaan kita tidak cepat tanggap. Kemudian sebaiknya kamu buat simulasi keuangan jika bisnis perusahaan ini berkembang." Aku menunjuk bagian-bagian yang perlu di perbaiki sementara DJ langsung mewarnai tulisan yang aku tunjuk untuk dia perbaiki.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now