Sebelas - Seperti Pikat Kehilangan Mata

9.1K 1.3K 27
                                    

"Sungguh aku bingung." Pembimbing Anak Magang yang terheran-heran.

Kupikir setelah urusan laporan dan kerjaan tambahan selesai, semua akan kembali normal. Aku lupa, sejak menjadi pembimbing anak magang, tidak ada kata normal dalam kamusku.

Semua diawali dengan Pak Anwar yang menugaskanku untuk random check untuk standard operations procedure atau dikenal sebagai SOP, ke cabang-cabang. Jadilah aku menghabiskan empat hari untuk berkeliling ke cabang, mengecek berbagai macam prosedur dan memastikan bisnis berjalan dengan baik.

Aku hanya mengontrol ketiga anak magang melalui chat, panggilan video, Zoom atau Google Meet. Meskipun begitu, aku tidak berani membayangkan rupa ruangan kami sekarang. Bayanganku, Mamet pasti memenuhi meja-meja dengan berbagai macam keripik sementara Ai sudah menambah koleksi Hello Kitty-nya.

"Terima kasih ya, Bu Cassandra. Kami jadi tahu prosedur apa yang kurang." Manajer klinik di bilangan Casablanca Raya tersenyum saat mengantarku.

Sebenarnya klinik dan toko sudah mengetahui prosedur yang ada. Namun, dalam perjalanannya, seringkali ada satu dua hal yang membuat prosedur itu tidak dijalankan. Tugasku adalah mengingatkan dan memastikan semua hal dijalani. Mirip-mirip proses audit, bedanya aku mengecek secara acak. Sidak, alias inspeksi mendadak, kalau kata Pak Anwar.

Klinik ini melewati prosedur laporan pengembalian barang sehingga aku terpaksa membuat surat dan melaporkannya pada Pak Anwar. Setelah itu, aku menghabiskan pagi ini dengan memberikan training ulang terkait prosedur.

Setelah berpamitan, aku kembali ke kantor pusat. Ini hari Jumat di akhir bulan dan waktunya para anak magang mengirimkan laporan project mereka. Aku sudah mengirimkan pesan di grup kecil kami supaya ketiga anak magang bersiap untuk mengirimkan laporan.

"Hai, Cassandra. Udah beres semua?" Suara Pak Anwar terdengar saat aku baru tiba di lobi kantor.

Aku menoleh dan melihat Pak Anwar diiringi dengan Baron dan salah satu orang dari bagian Finance yang kuketahui bernama Budi. Mereka pasti habis lunch meeting di kafe lobi kantor.

"Iya, Pak. Sudah beres. Laporannya akan saya kirimkan ke Bapak maksimal sore ini, ya." Senyumku terkembang sempurna. Tugas dari atasan sudah dikerjakan dengan baik.

Baron menekan lantai kantor lalu kami menunggu ke lift dengan tulisan D untuk mengantri. Sistem lift di gedung ini memang diatur supaya tidak ada antrian berlebih. Setiap orang yang akan menggunakan lift, harus memasukkan angka lantai setelah itu sistem akan memberitahu kami bisa menggunakan lift di abjad yang tertulis di layar.

"Kami baru meeting dengan client yang akan mengadakan pameran kosmetik." Tiba-tiba saja Pak Anwar memecah kesunyian.

"Ah, tapi pasti Baron sudah memberitahumu, ya?" Pak Anwar berkata lagi.

Belum sempat aku bereaksi, atasanku itu sudah berbicara lagi. Aku termangu. Kenapa juga Baron harus memberitahuku. Tatapanku beralih pada laki-laki yang mengenakan kemeja biru fit body dengan celana chino biru gelap.

"Kenapa lo harus ngasih tahu gue?" bisikku pada Baron ketika kami keluar dari lift.

"Gue juga nggak paham. Tapi mungkin karena mereka kira kita punya hubungan apa gitu, ya?" Baron sama tidak yakinnya denganku.

"Sudah kubilang mereka akan cocok, ya?" Pak Anwar berkata pada Pak Budi di sampingnya. Mereka sudah berjalan lima langkah di depan dan Pak Anwar tiba-tiba menoleh.

"Walaupun di sini pacaran sesama karyawan nggak dilarang, tapi kalian harus tahu waktu, ya?" Kalimat yang berisi sekeranjang ledekan itu diiringi dengan senyuman.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now