Dua Puluh Lima - Kaki Naik Kepala Turun

8.4K 1.2K 27
                                    

"Rencana cadangan tetap harus dibuat untuk mengantisipasi segala kemungkinan." - Pembimbing Anak Magang yang lelah karena membuat rencana.

Hari ini sangat melelahkan. Aku bahkan tidak sempat untuk sekedar menekan keyboard ponsel untuk melakukan memesan kopi secara online. Pak Anwar memintaku untuk hadir dalam rapat manajemen dan mempresentasikan hasil temuan dari tim operations. Hampir tiga jam aku di ruang rapat. Membicarakan berbagai macam kemungkinan perubahan dan rencana untuk mengantisipasi.

"Apa pun keputusan yang diambil, kapal tidak boleh oleng!" seru salah satu direksi ketika aku selesai presentasi.

Aku sangat paham apa maksud direksi yang bertubuh sedikit tambun dengan pipi kemerahan yang mengenakan jas lengkap dengan dasi tersebut. Perusahaan tetap harus beroperasi atau kami harus menghadapi keputusan sulit ke depannya, seperti memberhentikan karyawan atau pemotongan gaji, yang mana juga sudah masuk ke dalam rencana cadangan.

Manajer dari divisi finance yang juga hadir memberikan lapoaran keuangan dan perkiraan keuangan jika rencana-rencana cadangan dijalankan. Belum lagi di tengah rapat, kami mendapat informasi kalau beberapa bank sudah menjalankan work from home. Untunglah rapat tetap bisa berjalan dengan kepala dingin.

Menjelang jam makan siang, rapat dibubarkan sementara. Aku bergegas keluar untuk mencari Ela ketika Baron mengikuti langkahku. Wajah laki-laki itu terlihat suram. Sepagian ini bahkan dia tidak tersenyum sama sekali.

"Kita akan bertahan, Ron. Lo nyeremin banget mukanya. Kaya besok perusahaan kita bakal tenggelam saja." Aku tertawa ringan dan menepuk bahu Baron saat kami berjalan bersisian. Sedikit senyum timbul di wajahnya.

"Gue cuma nahan ngantuk dari tadi pagi, Cass."

Astaga! Kalau saja yang bicara adalah Mamet, aku pasti sudah menjewer telinganya. Sia-sia aku menghibur Baron kalau ternyata dia hanya menahan kantuk. Sambil berdecak sebal aku berbelok ke arah ruangan Ela.

Sahabatku itu sedang berdiri menyandar di kubikel tempat kerjanya. Posisi kubikel Ela yang berada di bagian depan, memungkinkannya melihatku dan Baron yang saling melambaikan tangan sebelum berpisah. Dia menyambutku dengan senyum dikulum.

"Cie, yang udah baikan," godanya sambil menggamit lenganku.

"Gue nggak pernah marahan sama dia. Cuma sebal," sahutku pasrah saat Ela setengah menyeret ke arah lift.

"Hati-hati, Cassandra. Sebal berlebih akan berubah menjadi cinta."

Tidak ada gunanya menyahuti ucapan Ela. Dia akan semakin semangat untuk menggoda jadi kudiamkan saja ucapannya itu sampai kami masuk ke dalam lift. Tidak banyak orang di dalam lift karena sebenarnya belum masuk jam istirahat. Aku tidak sarapan dan kekurangan kafein. Jika menunggu semenit lebih lambat saja, aku akan pingsan. Itu sebabnya aku curi start lebih dulu supaya nanti bisa bersiap lebih awal untuk rapat pukul satu siang.

"Lo yakin mau makan itu saja?" Ela melirik sepiring gado-gado dengan lontong yang kupesan.

"Kenapa memangnya?" tanyaku heran. Sepertinya gado-gado adalah makan siang yang lumrah.

"Percaya, deh. Lo bakal kelaparan sebelum jam tiga. Karbohidrat di lontong nggak cukup banyak buat kerja otak lo."

Mengenalku selama bertahun-tahun membuat Ela hafal tabiatku. Dia menghela napas ketika aku bersikeras gado-gado ini cukup untuk menahan lapar lalu sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Aku mengabaikan tingkah Ela, paling dia sedang menghubungi suami tercinta.

Sekitar lima belas menit kemudian, para anak magang datang. Mereka memang istirahat tepat waktu. Ai duduk di sampingku setelah memesan makanan sementara Mamet dan DJ masih mengelilingi kantin.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now