Kenangan Indah

1 0 0
                                    

Pernah lihat anak kecil belajar makan? Pasti berlepotan, kan? Sama seperti pertama kali saya belajar menulis. Tulisannya typo di mana-mana. Tanda baca dan segalanya tidak beraturan. Namun, saat itu saya tetap percaya diri untuk mengirimkan tulisan saya ke koran lokal.

Satu hal yang saya yakini saat itu, jika saya tidak memulai, saya tidak akan pernah sampai pada tujuan yang diinginkan. Sama seperti para ibu yang tidak mau membiarkan anaknya makan sendiri dengan alasan takut baju anaknya kotor, malas membersihkan tumpahan makanan yang berserakan di lantai, atau alasan lainnya. Sebenarnya alasan itu sah-sah saja, tetapi akan ada sisi pembelajaran lainnya yang akan hilang. Benar, nggak?

Dunia menulis juga seperti itu. Jika saja saat itu saya tidak berani mengirimkan tulisan saya ke media, saya tidak akan pernah belajar dari kegagalan.

Meskipun lelah karena menulis di buku kemudian diketik di komputer dan dikirim ke media lewat warnet. Namun, dari sanalah saya belajar banyak hal. Makna kerja keras dan pantang menyerah.

Mengingat masa itu membuat semangat saya kembali bergelora. Bayangkan, betapa reportnya mengurus rumah, bayi yang baru beberapa bulan, tetapi saat itu saya tidak menyerah. Seolah-olah menulis mengalirkan energi yang membuat hidup saya lebih bermakna.

Perjuangan itu memang tidak langsung membuahkan hasil. Saya yang sejak awal lebih senang membaca buku non-fiksi, merasa kesulitan menuangkan ide yang ada di kepala menjadi sebuah cerita fiksi. Namun, saya tidak menyerah.

Merasa tulisan tidak dimuat-muat di koran yang dituju, saya memutuskan untuk belajar lebih giat. Saya membeli koran lokal yang saya incar setiap Minggu. Membaca kolom cerpen dan mempelajari cerita pendek seperti apa yang disukai koran tersebut.

Dari sanalah saya mulai menulis kisah pribadi dan meramunya dengan bumbu agar lebih sedap dibaca. Alhamdulillah, dalam waktu yang tidak begitu lama, tulisan saya terbit di koran yang saya lokal.

Tidak berhenti sampai di situ, saya belajar lagi bagaimana caranya membuat puisi. Sebab, puisi dibayar lebih malah. Dasar emak-emak mata duitan, ya?🤫

Beberapa bulan kemudian, saya menerima hasil pertama saya dari menulis. Saat itu rasanya bahagia banget. Dari sanalah saya ketagihan. Menulis dan terus menulis. Hingga saya berada pada titik merasa tidak puas dengan tulisan yang diterbitkan di koran lokal saja.

Saya mulai mencoba bergabung dengan beberapa grup menulis. Mengikuti challenge dan berbagai hal yang membuat saya terpacu untuk terus menulis. Sayangnya, karena terlalu asyik menulis--hingga bisa menerbitkan satu buku solo, saya lupa memperbaharui ilmu kepenulisan yang sangat saya butuhkan. Hingga saya berada pada masa gamang. Bingung harus menulis apa dan bagaimana.
Saat itulah, Indonesia writerzone hadir. Mak Oney memberikan penerangan di saat dunia kepenulisan terasa gelap di mata saya.

Penasaran? Sekarang Indonesian Writers Zone lagi buka member baru, loh. Buruan sebelum ketinggalan.

#indonesiawritingzone #iwz_premiumclass #belajarbareng_iwz #iwz_tugas

Tulisan IndahWhere stories live. Discover now