1.

949 37 1
                                    

"Raya, hari ini kamu handle buat supplier di regional middle east dan Asia dulu, ya," ujar Kirana seraya menepuk pelan pundak Raya—sang anggota tim—yang tengah asik menyantap bubur ayam di kubikelnya.

Raya pun sontak menghentikan gerakan sendok dan menoleh ke arah Kirana Anindita Mulia, sang team leader. Kedua bola mata Raya seketika menangkap penampilan atasannya di hari itu tampak agak kasual blouse warna biru tua dan celana linen krem sebatas mata kaki. Rambut lurus sebahunya masih terlihat seperti biasa—digerai begitu saja.

"Siap, Mbak," tanggap si gadis berkacamata, yang hari itu memilih mengenakan kerudung warna dusty blue dengan office shirt yang warnanya senada.

"Udah makan, Mbak Kirana?" lanjut Raya, mencoba berbasa-basi sejenak seraya curi-curi lirikan ke jam dinding di seberang ruangan.

08:55, beruntung masih ada lima menit lagi sebelum waktu kerja dimulai. Raya setidaknya masih bisa menikmati sarapan dadakannya sebentar lagi tanpa perlu ditegur halus oleh Kirana.

"Sudah, saya tadi sudah sarapan di rumah," balas Kirana, kemudian samar-samar memberi senyuman tipis pada Raya.

Tanpa banyak cuap-cuap lagi, Kirana segera menuju ke jajaran kubikel lain yang berisi anak-anak buahnya.

"Galih belum datang?" tanya Kirana pada Fani seraya pandangannya mengedar ke seantero ruangan yang khusus ditempati oleh tim account payable.

Kala itu jam terus kian bergerak menuju batas keterlambatan.

"Paling bentar lagi, Mbak. Biasalah, si Galih kan kalau nyampe kantor serignya pas injury time melulu," komentar Fani seraya jemarinya masih asik membalurkan krim pelembab ke wajah mulusnya. Kirana kemudian hanya terlihat manggut-manggut tipis.

Tak sampai beberapa langkah ketika Kirana hendak menjauh dari kubikel Fani, sorak-sorai warga di ujung ruangan tiba-tiba terdengar.

"Yak, ini dia juara bertahan injury time kita, Galih Ibrahim!" sorak Mas Koko yang ada di sudut ruang, seperti komentator di ring tinju.

Kirana spontan terhenti, melihat ke arah sumber suara itu berasal. Sesosok lelaki bongsor yang kira-kira tingginya 178 sentimeter tampak memelesat cepat dari arah pintu masuk ujung ruangan. Kemeja flannel yang agak kusut dan jeans membalut tubuhnya. Sneakers hitam yang melekat di kakinya terdengar berdecit keras.

"Galih berlari, menembus kerumunan, dia sampai di mejanya. Mulai masuk ke halaman clock in. Dia mengetik nomornnya, sodara sodara! Oh, sayang sekali keyboardnya macet. Waktu tinggal sedikit lagi apakah dia bisa?" Komentar Koko di sebelah kursi Galih. Semua orang di ruangan itu tergelak melihat kelakuan mereka.

"Anjir, bawel lo Mas." Sentak Galih yang kemudian membuat semua orang tertawa lagi. Dia sibuk mengisi namanya di halaman clock in. waktu tinggal 30 detik. Dan untungnya Galih kemudian berhasil masuk di sisa 5 detik. Nyaris sekali.

"Sodara-sodara, Juara bertahan kita di injury time, Galih Ibrahim!" seru Mas Koko sambil mengangkat salah satu lengan Galih di udara. Semua orang menyoraki, sudah persis seperti menonton juara tinju. Galih lalu hanya terlihat senyum-senyum tidak jelas, melambaikan tangannya pada semua orang. Sedikit gila memang.

Setelah keributan konyol dan tidak penting itu, Kirana mendekat ke kubikel Galih. Ia berdeham sekejap. Semua orang yang melihat perempuan itu langsung terdiam semua. Kembali ke meja masing-masing.

"Galih," sapa Kirana dengan nada tenang.

"Eh, Mbak Kirana. Pagi, Mbak. Mbak Kirana sehat?"

Dengan begitu antusiasnya Galih menyapa balik Kirana. Lelaki bongsor itu spontan bangkit dari kursi kerjanya tatkala melihat sang atasan sudah ada di samping kubikelnya. Napasnya yang masih agak ngos-ngosan setelah lari-larian tadi bisa terlihat oleh Kirana. Meski begitu, tak menyurutkan semangat Galih untuk merekahkan cengiran semringahnya yang selalu terasa sesemringah senyuman tanggal muda.

Sehangat KalbuWhere stories live. Discover now