3

660 40 12
                                    

"Ayah ...,"

Haidar memanggil lirih. Gunawan segera menoleh.

"Haidar?"

Haidar tampak memegangi dadanya, Batuk beberapa kali. Haidar lalu  agak kesulitan mengatur napas.

"Nak, kenapa? Sakit dadanya?" Tanya gunawan seraya menunduk di sebelah ranjang Haidar.

"Sesak, Yah ...," ucap Haidar setengah berbisik.

Semenjak pulang dari pemeriksaan di rumah sakit di siang tadi, Haidar memang kerap mengeluh sakit dan sesak di dada. Kadang suara napasnya juga seperti mengi. Demam yang kini tengah melanda tubuh ringkih itu juga semakin membuat sengsara.

"Nebulizer sebentar ya?" tawar Gunawan ketika melihat batuk putranya makin parah dan Haidar mengeluh dadanya makin terasa sempit.

Haidar hanya menurut ketika Gunawan sudah memakaikan sungkup nebulizer di wajahnya. Mesin yang mengalirkan obat dalam bentuk uap itu pun dinyalakan.

"Sebentar, ya. Habis ini Haidar bisa lebih lega," bujuk Gunawan lembut, seraya membetulkan tumpukan bantal-bantal agar Haidar bisa lebih nyaman.

Haidar mengangguk pelan dan perlahan memejamkan mata. Elusan tangan sang ayah sesekali terasa di dadanya, memberi ketenangan dan mengurangi lara.

Selepas beberapa menit, alat itu dilepas dari wajah Haidar. Pria muda itu kini sudah tampak bisa bernapas lebih lega dari sebelumnya.

Gunawan mengelus pelipis Haidar menenangkannya, lalu buru-buru memakaikan slang oksigen di hidung haidar.

"Tenang, ya. Atur napas pelan," pesan gunawan.

Haidar masih saja tidak begitu banyak bicara, hanya memejamkan mata. Pelan-pelan dadanya terasa kian longgar dan napasnya sudah teratur berkat pasokan oksigen dari tabung. Gunawan lalu menggenggam tangan Haidar yang dingin.

Uhuk!

Sesekali haidar masih akan batuk. Gunawan kemudian hanya terus mengelus dada putranya.

"Ayah, maaf." Lagi, suara haidar terdengar lirih sekali

Gunawan tidak keberatan. Sesekali ia memijat tungkai haidar yang sudah tidak bisa digerakkan itu. Sesekali pula ia mengubah posisi tidur haidar atau mengatur posisi bantal yang mengganjal di antara kaki haidar supaya kedua kakinya yang sudah tidak bisa digerakkan itu tidak saling menimpa dan menyebabkan luka tekan.

Malam itu dia tidak mau beranjak dari sisi haidar yang tengah demam. Gunawan tahu haidar membutuhkannya, sama persis seperti almarhumah istrinya dulu pernah begitu sakit. Ya, memang semenjak dua tahun lalu Gunawan harus menerima keadaan jika putra bungsunya telah divonis oleh dokter dengan jenis penyakit yang sama dengan penyakit yang dulu telah merenggut nyawa istrinya.

"Ayah."

"Ya?"

"Nanti mungkin keadaanku akan lebih parah dari ini. Aku minta maaf kalau nanti makin ngerepotin Ayah."

Gunawan menahan air mata saat Haidar mengatakan hal itu di depannya.

"Haidar nggak boleh ngomong begitu ya."

"Ayah, aku cuma mau realistis. Hari ini, dari batas pinggang sampai kaki, aku sudah lumpuh, Yah. Nggak bisa lagi jalan. Mau ke mana-mana, aku harus pakai kursi roda. Ayah lihat, kan? Mau Ngapa-ngapain, aku sudah kesusahan. Dokter saja tadi sudah pasang kateter buatku, bahkan bangun dari tempat tidur pun harus ada yang bantu." kata Haidar diikuti mata yang sedih.

"Aku tahu, yang lebih buruk dari ini cepat atau lambat akan terjadi. Dan aku akan semakin ngerepotin ayah dan mbak Nana."

Setitik air mata jatuh di pipi haidar. Gunawan lalu dengan lembut menyekanya. Ia tahu, anaknya telah kehilangan banyak hal, dan bukan tidak mungkin akan kehilangan lebih banyak lagi.

Sehangat KalbuWhere stories live. Discover now