2.

576 39 1
                                    

"Haidar!"

Sudah ketiga kalinya di pagi itu Kirana memanggil nama adiknya dari balik pintu kamar, tapi belum juga dijawab. Sekarang ia mulai cemas, dan akhirnya tak punya pilihan lain kecuali meminta bantuan ayahnya. Kirana hanya takut adiknya sampai kenapa-kenapa di dalam sana.

"Yah, Haidar nggak jawab waktu aku panggil-panggil. Ayah bisa buka pintunya dari luar? Ada kunci cadangan? Aku takut ada apa-apa."

Gunawan, ayahnya, yang baru saja terbangun langsung tergopoh-gopoh mencari kunci di laci ketika mendengar permintaan putrinya itu. Untungnya masih ada. Dan setelah itu ia pun segera ke kamar Haidar.

"Haidar! Bisa dengar Ayah, Nak? Kamu nggak apa-apa, kan?" seru Gunawan sambil memutar kunci pada kenop pintu.

Ketika bunyi 'klik' terdengar, pintu akhirnya terbuka. Gunawan buru-buru masuk diikuti Kirana. Dan ternyata firasat buruk Kirana terbukti. Haidar saat itu terlihat merangkak kesulitan di lantai.

"Haidar! Ya, Tuhan! Kamu--"

"Jangan ke sini, Mbak!" sela Haidar begitu saja, membuat langkah kirana mendadak terhenti.

"Jangan ke sini, Mbak," sambung Haidar kini dengan suara yang lebih kecil.

Gunawan mendekat ke arah Haidar. Putra bungsunya itu tidak melarang sang ayah. Justru malah menatap dengan penuh permohonan pada Gunawan.

"Haidar, Nak. Kenapa? Haidar barusan jatuh? Bisa berdiri? Mau Ayah bantu?" Gunawan berucap lembut sambil berjongkok di depan putranya yang masih dalam posisi terseok di lantai itu.

Gunawan sebetulnya saat itu hampir saja menangis. Ia sudah terlanjur melihat sesuatu merembes dari celana panjang Haidar, cairan kekuningan itu sudah membasahi lantai di sekitar haidar juga. Gunawan kini paham mengapa Haidar tadi melarang kakaknya.

"Ayah bantu, ya?" Tawar gunawan sekali lagi, lembut.

"Ayah, aku ...." Haidar menggantung kalimatnya, matanya menatap sedih. "Aku udah nggak bisa lagi, Yah."

Suaranya semakin gemetar. "Nggak bisa jalan lagi, Yah."

Kirana tidak tuli. Ia mendengar adiknya mengatakan hal itu. Air mata sudah turun ke pipi, tapi kirana tak sedikit pun bisa bicara.

"Mumpung aku masih bisa sedikit-sedikit jalan sendiri, jadi aku masih pengin ke sini sendirian."

Rasanya baru beberapa hari lalu Kirana mendengar Haidar mengatakan hal itu dan bersikeras naik ke outdoor terrace rumah mereka sendirian dengan tongkat siku. Namun kini, Kirana tiba-tiba harus rela mendapati Haidar yang benar-benar sudah tidak mampu lagi berjalan sendiri. Untuk berdiri dari tempat tidur saja, Haidar nyatanya sudah tidak sanggup. Penyakit itu sudah semakin menggerogoti tubuh Haidar.

Ketika Kirana sekali lagi ingin mendekat pada haidar, haidar masih saja melarangnya.

"Jangan ke sini, Mbak. Di sini kotor."

Suara lirih itu menyayat hati kirana. Ia bahkan sudah telanjur melihat pemandangan menyedihkan itu. Kirana sudah telanjur melihat Haidar dibanjiri air seninya sendiri. Begitu sakit membayangkan adiknya itu tadi mungkin bangun dan hendak turun dari kasur, tapi kemudian malah terjatuh dan tidak bisa berdiri lagi. Haidar pasti ketakutan tidak bisa lagi menggerakkan kaki. Mau menjangkau kursi roda juga agak sulit karena letaknya ada jauh di sudut kamar. Sebelum Haidar sempat, air seni itu pasti sudah lebih dulu merembes.

"Kirana, keluar dulu sebentar ya. Biar ayah bantu haidar dulu."

Suara gunawan membuyarkan bayangan reka adegan di kepala Kirana. Air mata terus merembes. Kirana menatap pilu adiknya.

"Ayah, tapi ... Aku..."

"Jangan dulu, ya. Haidar masih kaget. Biar ayah dulu saja yang bantu ya? Kamu di luar dulu."

Kirana menyerah. Meski masih sangat enggan, tapi ia akhirnya berusaha memberi haidar ruang. Ia memikirkan persaan adiknya. Dia laki-laki, pastinya malu kelihatan mengompol begitu di depan kakaknya, apalagi kalau harus dibantu bebersih.

"Ayah, aku berat."

Suara Haidar yang kecil terdengar. Gunawan yang hendak melingkarkan lengan putranya ke leher, segera berucap, "Ayah kuat, kok."

"Nanti baju Ayah kotor, aku bau, Yah."

Gunawan kembali dibuat sedih. "Nggak apa-apa. Toh, habis ini ayah juga mau mandi."

Gunawan kemudian menggendong tubuh anaknya itu dalam dekap lalu membawanya ke kamar mandi untuk dibersihkan. Terasa sekali bagaimana tulang-tulang Haidar semakin menonjol. Bobot pria muda 25 tahun itu semakin kecil tiap harinya.

"Permisi, Ya, Nak. Ayah bantu ya?"

Sekali lagi Gunawan minta izin saat akan melucuti pakaian haidar dan membersihkan tubuh putranya itu. Haidar kini sudah didudukkan di kursi roda khusus mandi yang akhirnya baru pertama kali ia gunakan.

Pria muda itu hanya mengangguk pasrah. Ketika melihat dirinya sendiri yang tidak berdaya dan ayahnya dengan sabar membantunya, air mata seketika lolos.

"Haidar?" Gunawan menghentikan gerakan tangannya saat sedang menghanduki tubuh Haidar.

"Kenapa, Nak? Ada yang sakit?" tanya Gunawan.

Haidar tertunduk pilu. Masih berusaha menahan suara tangis dan air mata. Bahunya naik turun gemetar.

"Maaf, Yah," ucapnya lirih. "Aku udah nggak bisa jalan lagi. Ngerepotin Ayah."

Gunawan kini tak mampu lagi menahan air mata. Ia pun akhirnya menangis dan segera memeluk haidar, ia tahu putranya itu butuh rengkuhan. Butuh kekuatan.

"Nggak Haidar. Haidar nggak ngerepotin Ayah. Haidar yang kuat ya. Ayah selalu di sini, bantuin Haidar. Mbak Kirana juga. Haidar nggak perlu malu, ya? Kita keluarga, 'kan?"

✨✨✨

Segini dulu yaa :) makasih udah baca

Sehangat KalbuWhere stories live. Discover now