Tahun ajaran baru - 22 Juli 2020

12.1K 1.3K 51
                                    

"Gak sabar liat degem!"

"Alah, Le. Emang ada yang mau sama lo?"

"Sekate-kate lo, Rin. Gini-gini gue laku."

"Laku dikalangan tante-tante?"

Kata orang-orang, kelas sebelas adalah puncak-puncaknnya masa SMA yang akan terasa super asik dan menyenangkan. Terasa lebih bebas, lebih banyak jamkos, dan pastinya kalau kata Ale, "Udah boleh bandel!"

"Duh, Le. Jangan aneh-aneh, deh. Itu gorden baru beli, gak usah buka tutup jendela terus!"

"Ya elah, cari angin, Len."

Sistem sekolah kami berbeda dengan sekolah lainnya. Bila sekolah lain kelasnya diacak ketika kenaikan kelas, sekolah kami tidak. Jadi dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas, aku tetap di kelas MIPA 6 dengan semua temanku di kelas sepuluh kemarin.

Tentu sistem itu menguntungkan untuk diriku yang tak pandai bergaul. Walaupun Mama sering bilang punya banyak teman itu penting, tapi diam di zona nyaman memang paling aman untuk kami para introvert.

"Ssst, Jan. Radipta lewat,"

Mataku yang tadinya tertuju pada Ale sontak teralihkan ke luar jendela.

Diluar sana Radipta tengah membawa setumpuk buku mata pelajaran, berjalan sendirian menuju kelasnya. Radipta tetaplah Radipta yang kemarin, tak ada kapoknya absen disaat buku paket harusnya diambil hari senin lalu.

Omong-omong, ruang kelas kami berganti walaupun muridnya sama. MIPA 6 kedapatan ruang di gedung tengah yang satu lantai hanya berisi dua ruang kelas. Dan tebak siapa kelas di samping?

Pastinya kelas MIPA 5, kelas Radipta.

Posisi kelas kami pun sangat menguntungkan untukku karena kelas MIPA 5 terletak di pojok dan MIPA 6 terletak di samping tangga, yang mana bila siswa MIPA 5 ingin turun ke bawah, harus melewati kelasku lebih dulu.

Secara singkat, aku bisa melihat Radipta tanpa harus keluar kelas atau berjalan di depan kelasnya seperti kelas sepuluh lalu.

Tapi sayang seribu sayang, aku tak kebagian duduk di samping jendela karena posisi itu sudah dikuasai Ale dan teman-teman badungnya. Meskipun ingin, aku lebih rela melihat Radipta dari kejauhan dibanding setiap hari mendengarkan celotehan Ale yang tiada habisnya.

"Makin cakep sebulan gak ketemu."

"Idih," Nayya melengos. "Belom aja kamu liat dia di rumah. Kayak gembel!"

Begitu juga dengan Nayya. Nayya tetaplah Nayya yang gemar menjelek-jelekkan Radipta walaupun diam-diam ia mendukungku untuk maju terus.

Kalau kalian penasaran bagaimana hubunganku dengan Radipta setelah setahun aku menyukainya, sepertinya kalian akan kecewa bila ku beri tahu.

Jawabannya, tidak ada perubahan.

Mungkin kadang ada masa dimana kami beberapa kali tak sengaja berbincang-lebih tepatnya aku yang selalu mencari-cari momen itu-tapi tetap tak ada perubahan tentang status kami.

Ingin disebut teman, sepertinya juga belum sedekat itu.

Di mataku, baru bisa disebut teman Radipta itu bila aku merasakan rasanya menjadi Glara atau Alin yang hampir tiap hari pulang bersamanya.

Jangankan pulang bersama, kami bahkan tak saling sapa bila bertemu pandang.

Silahkan bilang aku cupu atau cemen karena tak berani menyapa duluan, karena memang itu benar adanya. Aku bukan tipe orang yang gampang bergaul, ingat? Sebelum bersosialisasi dengan orang yang tak terlalu dekat pasti banyak persepsi-persepsi buruk di kepalaku. Takut Radipta tak nyaman, takut Radipta pikir aku sok akrab, dan kemungkinan paling buruk, takut Radipta tak menyapa ku balik.

Satu Cerita Untuk KamuWhere stories live. Discover now