Satu kanvas beda makna - 26, 27 Maret 2021

10.9K 1.3K 319
                                    

Budayakan follow sebelum baca~

Happy reading! 🤍

•••

Hari pelaksanaan Fantasia sudah di depan mata.

Kayla beberapa kali izin absen pelajaran untuk rapat OSIS, bukan hanya ketika pelajaran berlangsung, pulang sekolah pun ia tetap pergi ke ruang OSIS untuk mengurus sesuatu entah apa itu.

Begitu juga dengan Radipta. Hari ini adalah hari ketujuh kami belajar melukis, yang mungkin menjadi hari terakhir karena tampaknya ia makin sibuk dengan urusan OSIS dan ekskul.

Tak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini aku yang terlambat pergi ke ruang seni. Jadwal kami sebenarnya agak bentrok. Radipta ada urusan jam empat nanti, sedangkan aku masih kerja kelompok sampai setengah empat. Jadi setelah tugasku selesai, aku lebih dulu berpamitan pada teman-teman sekelompokku untuk menuju ke bawah duluan.

"Udah nyoba buat sketsanya?" tanyaku seraya melepas ransel dan menaruhnya di sudut ruangan. Bangku-bangku disini sudah dibawa semua ke aula karena sempat ada acara seminar kemarin. Jadi kami duduk lesehan di lantai dengan kanvas yang disandarkan pada dinding.

Radipta sekarang membawa kanvas besar, tapi aku tak bawa apa-apa. Memang sengaja karena hari ini aku hanya akan memperhatikannya melukis dan mengoreksi apabila ada yang kurang.

"Bentar lagi."

Aku mengangguk dan mulai menghampiri. Wangi parfum Radipta menyeruak ketika aku duduk disampingnya. Tak biasanya seperti ini. Ku lihat juga rambutnya rapih dengan seragam berbalut almamater OSIS.

"Lo ada urusan OSIS abis ini?"

"Iya." ujarnya singkat dengan mata tertuju lekat pada kanvas.

Aku hanya diam dengan tangan memeluk lutut selama beberapa menit ke depan. Radipta banyak diamnya sekarang, tak seperti pertama kami belajar melukis. Mungkin ia tengah kelelahan. Jadi aku ikut diam karena percuma bila ku tanya pasti ia hanya menjawabnya singkat-singkat.

"Ini hari terakhir, kan?" tanyaku setelah ia selesai membuat sketsa dan mulai mengulas cat warna.

"Hari terakhir apa?"

"Belajar lukis."

"Ooh," Radipta diam sejenak. "Iya. Kata lo gue udah jago, kan? Tinggal sering-sering belajar sendiri di rumah."

Aku mengangguk. Sebetulnya itu bukan satu-satunya alasan. Seperti yang ku sebutkan tadi, aku tak tega bila melihat raut lelahnya ketika kami bertemu disini. Walaupun ada rasa sedih karena mungkin kami tak akan punya waktu berdua lagi, tapi ku tetap pada pendirian untuk menghentikan sesi tutor ini.

Setidaknya, satu beban Radipta terlepas.

"Gue nanti mau ketemu Kakak kelas angkatan 16 yang udah lulus. Mereka mau dateng buat ngasih motivasi pas event Fantasia."

"Oh, iya?" Rautku berubah ketika Radipta memulai topik duluan. Ku kira kami akan diam saja sampai ia selesai. "Berarti dari univ terkenal, dong?"

"Anak UI, ITB, sama yang kuliah di Kairo."

"Keren." gumamku kecil. "Gak berasa juga bentar lagi kita kelas 12, terus lulus."

Radipta mengangguk. "Lo mau masuk mana?"

Soal ini sempat ku pikirkan beberapa hari lalu karena guru-guru mulai menyinggung kampus dan jurusan. Rata-rata berkata kuliah dimanapun sama saja, yang penting jurusannya sesuai dengan bakat dan apa yang diminati masing-masing. Tapi tentu sangat membanggakan bila mendapat perguruan tinggi negeri. Jadi kami diminta untuk semakin memperbaiki nilai agar jalur masuknya mudah.

Satu Cerita Untuk KamuWhere stories live. Discover now