Awalnya...

179 14 0
                                    

"Apa yang kamu inginkan dari Maia, kenapa kamu mendekatinya?"

Laki-laki itu hanya diam. Seakan apa yang aku ucapkan padanya tidak sampai ke kapalanya. Aku bisa melihat tiga, empat, dan banyak rambut putihnya yang sudah tumbuh di antara rambut hitam yang lebat. Aku bahkan tak bisa melewatkan hal itu selagi semua orang berselieran di dalam kafe ini, kafe yang tidak jauh dari sekolah.

"Kenapa kamu mendekatinya, apa yang kamu inginkan darinya?" aku masih terus mendesaknya. Tidak, aku tidak merasa nyaman duduk di sini berhadapan dengannya. Minuman bersoda segar itu sedari tadi tak kusentuh bah sedikitpun, esnya mulai mencair dan membanjiri sekitaran meja. Tanganku mulai gatal karena keringat yang keluar tanpa bisa kukontrol. Kuusap-usapkan ke tas toetbag berbahan kanvas yang kubeli setahun yang lalu karena aku butuh ruang tas yang lebih besar untuk menampung buku-bukuku.

"Dia masih sekolah, aku tahu dia memang tak pernah fokus sekolah. Dia selalu membolos setiap punya kesempatan, berteman dengan semua laki-laki yang bisa dia temui. Aku tak tahu bagaimana dia bisa mengenalmu. Tapi, dia..." aku menelan ludahku yang terasa sulit, "dia tidak tahu apa yang dia lakukan."

Laki-laki itu mengambil cangkir berisi kopi yang lebih dulu dia pesan. Dihisapnya kopi itu perlahan walau ujung matanya tak sedikit pun meninggalkanku. Tatapan kami tetap sekaku itu sejak pertama bertemu. Aku bahkan tidak bisa membaca isi kepalanya, laki-laki yang bahkan tidak aku tahu siapa dan apa pekerjaannya, hanya nomer telepon yang kutemukan pagi ini dan kutelepon kemudian seperti orang gila. Aku hanya tahu Maia punya hubungan tidak benar dengannya.

"Kamu..." aku menelan ludahku lagi, "sudah berkeluarga?" dan itu seharusnya bukan pertanyaan. Aku tahu dia sudah berkeluarga karena pesan-pesan di HP Maia mengatakan 'istriku sedang tidak di sini' aku juga tahu dia sudah punya anak, 'anakku masih terlalu kecil untuk tahu siapa kamu' dan semua pesan-pesan kotor yang seharusnya tidak di sana terus berselieran di kepalaku seperti mesin rusak.

"Jadi..." dia mulai bersuara, meletakan cangkir ke hadapannya kembali, "kamu mengkawatirkan hubunganku karena aku sudah berkeluarga atau karena aku sudah terlalu tua untuknya?" dan aku sadar dari bagaimana dia mengatakannya bahwa dia menantangku, dia meremehkanku bahkan sejak awal sejak kami bertemu.

"Berhenti menghubunginya. Berhenti bertemu dengannya, atau aku akan melaporkan semua ini ke polisi," kataku dengan keberanian.

Dia mengusap jenggot tipisnya, kemudian menaikan kakinya ke satu kakinya yang lain, entah karena dia merasa ancamanku mengganggunya atau mungkin tidak sama sekali.

"Kamu tahu dia sudah menipuku?" tanyanya.

Dan aku terdiam. Maksudnya apa? Menipu apa? Aku tahu Maia selalu berani dan sesekali memberontak, tapi dia tak mungkin menipu. Sejauh apa?

Melihat raut wajahku yang mungkin ketakutan, aku melihat dia menahan seringaian di wajahnya, "tampaknya kamu tidak tahu apa-apa. Melaporkan polisi?" dia mendenguskan tawa hina. "dia mengaku tiga puluh tahun, seorang janda tanpa anak, bekerja di bank, manajer. Apa aku harus melanjutkan isi kebohongannya?"

Keningku mengernyit, "kamu tahu dia menipumu, lalu kenapa?" aku masih kehabisan kata-kata.

"Aku menganggap ini sebagai bayaran ganti rugi, secara finansial, juga mental. Dia meneror istriku. Walau aku tak masalah dengan itu, karena sejak awal kami memang hendak bercerai, tapi masalah jadi semakin besar dan aku jadi kehilangan kesabaran. Begitulah... dan saat aku tahu dia hanya anak SMA, aku memintanya membayar semua kerugiaan itu. Dan karena tidak bisa membayarnya tentu dia harus membayarnya dengan apa yang bisa dia lakukan. Ternyata dia memilih menjual dirinya..."

Aku menundukkan kepalakku, harus mendengar kata-kata itu langsung keluar dari mulut laki-laki ini membuat seluruh darahku mendidih dan aku tak punya ruang untuk membiarkan asapnya keluar. Semua tekanan dari dalam ini seakan ingin membunuhku di tempat. Tak kuizinkan air mata itu turun begitu saja. Itu hanya akan menunjukkan bahwa aku lemah. Semua masalah yang terjadi harus berakhir dengan baik-baik saja. Aku tak boleh kalah bahkan sebelum mencoba. Sejak awal tekadku adalah memenangkan kejahatan ini.

"Aku... aku akan membayarnya."

Dan kulihat senyumannya itu semakin lebar, senyuman menjijikan yang bermain-main di wajah laki-laki brengsek sepertinya, "benarkah?"

"Berapa banyak?"

Dia memundurkan punggungnya, menatap langit-langit kafe dan berpikir seadanya, "kamu pikir aku mengaharapkan uang darinya. Bahkan jika dia menjual dirinya seumur hidupnya itu tidak akan cukup untuk membayarku."

"Apa yang kamu katakan? Kamu bercanda? Ini penipuan."

"Mobil, flathouse, dan barang-barang branded, mencuri kartu kredit dan menjual namaku di beberapa perusahaan kenalanku. Aku sudah memberikan terlalu banyak pengampunan padanya."

"Dia takkan berani melakukannya. Dia bahkan tidak berani bertemu orang-orang yang tidak pernah dia temui sebelumnya. Dia memang hidup seenaknya tapi hanya di dalam circle pertemanannya saja. Dia takkan mungkin mengambil sebanyak itu, dia tak menerima apapun," karena aku juga tahu Maia takkan mampu menyimpan hal-hal seperti itu dariku.

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya, "tidak tidak, kamu tidak mengenalnya. Bocah bengis itu, setan yang pintar menyamar. Percayalah, aku hanya mengajarinya sedikit soal hidup. Mungkin juga hukuman yang setimpal. Bahkan saat aku memperlakukannya seperti Binatang, dia tertawa dengan girang sambil menyebut semua kata-kata kotor. Sejak awal, aku bahkan meragukan aku mendapat keuntungan atas apa yang sudah kuperbuat padanya."

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri, seperti orang kalap, "tidak, tidak mungkin. Jangan ucapkan kata-kata kotor itu di hadapanku. Dia hanya gadis di bawah umur yang tidak tahu apa-apa. Kamu sudah mencemarinya."

Dia hanya menyeringai lagi kemudian beranjak dari tempat duduknya. "beritahu aku jika kamu siap membayar semuanya, aku juga akan menyiapkan harga untuk itu. Sebelum itu terjadi, aku akan menganggap pertemuan ini tidak pernah ada." Dan dia berjalan pergi setelah meraih kunci mobilnya di meja.

Aku tidak tahu seberapa jauh kali ini Maia membuat masalah. Dia biasanya membuat masalah terkait sekolah atau terkait teman-teman sekolahnya, terkadang dia ketahuan menyontek, tidak mengerjakan tugas, dan kabur di mata pelajaran yang tidak dia suka. Terkadang dia ditemukan berkelahi dengan temannya, membully salah satu temannya, atau dituduh mencuri sesuatu milik temannya. Dia memang sering terlibat masalah, semua masalah itu hanya bukti pemberontakan yang dia lakukan karena tahu ibunya yang bahkan tidak pernah merawatnya pergi selamanya tanpa berpamitan sama sekali. Dia menjadi luar biasa murka di dalam, menghabiskan seluruh waktu remajanya untuk melakukan hal-hal bodoh dan tidak perlu. Seakan mengatakan pada semua orang 'memang seperti ini sosok anak yang tidak pernah dididik' dan aku harus merasa bersalah karena membiarkan semuanya terjadi.

Sekarang, apa mungkin semuanya sudah terlambat? Aku bahkan tidak bisa fokus duduk di halte bus karena setelah bus itu datang, aku harus menunggu bus selanjutnya datang. Aku tidak tahu harus kemana dan aku mungkin tidak sanggup menghadapi Maia sekarang. Aku bisa saja kalap, menamparnya, menjambak rambutnya atau menusuknya dengan pisau dapur. Semua sekenario jahat itu tergambar begitu saja tanpa membuatku bergidik ngeri. Karena sudah tidak ada jalan kembali, jalan terbaik adalah kami mati bersama-sama dari pada menanggung rasa malu tiada tertanggungkan ini. Jika semua orang sampai tahu anak SMA ini menjual dirinya, menipu seorang laki-laki yang sudah berkeluarga dan menghabiskan hartanya. DIa bahkan tidak akan sanggup lagi berada di mana-mana di muka bumi ini. Dan aku? Seluruh hidupku juga akan hancur berantakan. Langit mulai gelap, aku masih di sana, duduk merenung kemudian menangis sejadinya.

MissionaryWhere stories live. Discover now