Untuk Lebih Tenang

41 8 0
                                    

Itu hari Senin aku bilang pada Maia aku akan mengantarnya ke sekolah. Walau dia menolak, aku memaksa. Menariknya ke atas motor ayah dan memberikan helm. Kemarin aku membawa motor ini ke bengkel dan memutuskan untuk menggunakannya. Maia menurut setalah memutar matanya tak suka karena diperintah. Aku menyetirkan motor, tidak mengambil jalan yang seharusnya dilalui menuju sekolah.

"Kita ke mana? Kamu mau membawaku ke mana?" Maia sudah curiga.

"Kita membolos hari ini," aku masih mengemudi dengan cepat dan tidak menghiraukannya walau Maia memintaku untuk menghentikan motornya.

Kami berhenti di salah satu rumah di perumahan lama. Maia tidak sanggup menerkanya. Kita berhenti di depan rumah minimalis dan sebuah mobil sedan hitam yang terpakir di depannya.

"Di mana ini?"

"Teman," jawabku cepat. Kutekan bel rumah sampai seorang wanita paruh baya muncul di sana.

"Bening, masuklah," kami berpelukan. Maia masih memasang gestur defensif. Dia memasang tampang was was. Di tatapnya wanita tua itu seakan wanita itu bisa mengancam hidupnya juga. "Kamu pasti Maia. Masuklah. Kita bersantai di dalam. Sudah lama tidak kedatangan tamu anak-anak muda."

Kami bersama masuk ke dalam. ruangan pertama yang kami temui tercium seperti bau mint dan kopi. Nuansa biru ke abu-abuan memenuhi tembok rumah sedangkan tatanan rumah benar-benar minimalis dan nyaman. Untuk pertama kalinya aku berada di sini, sebelumnya aku hanya mengobrol sekali dua kali dengannya melalui telepon. Aku menyukainya, Anggi Batari, dia juga jauh lebih keibuan dari yang sebelumnya aku kira.

"Teh, sirup? Ah, sedang panas banget ya di luar. Sirup saja ya, aku juga beli kue tadi pagi. Tunggu biar aku ambilkan."

Selagi perempuan kepala lima itu berlalu masuk ke dalam, Maia membombardirku dengan tatapannya. Dia meminta penjelasan kenapa dia berada di rumah seorang yang tidak dia kenal. Aku tahu perasaan gunda gulananya terlebih aku tidak pernah mudah membiarkannya membolos sekolah.

"Kamu akan tahu setelah mengorbol, duduklah dulu," dan benar saja, dia tidak mau duduk. Berdiri di dekat sofa sambil bersedekap dada. Aku menahan dengusanku sendiri dan mulai mengabaikan sikapnya. Biarlah, tidak duduk pun dia juga yang rugi.

Anggi kembali dengan nampan dan snack, dia menatap Maia dan keheranan melihatnya masih berdiri. Aku melempar senyum memohon agar dia bisa memakluminya juga.

"Bukankah tidak adil menyuruhnya datang di jam sekolah?" tanyanya. "Jika tahu begini, tante bilang saja tidak bisa saja. Ah, iya, Maia, jika belum tahu, aku ini AB. Kamu tahu serial cerita remaja detektif yang terkenal itu, kan? Aku yang menulisnya dulu. Anggi Batari. Waktu Bening cerita adiknya punya koleksi tulisan yang bagus, tente tertarik. Terjadilah pertemuan dadakan ini."

Maia menatapku kali ini dengan pelototan, aku tahu maksud tatapannya itu 'kamu mencuri tulisanku dan membagikannya tanpa seiziniku?' dia tampak tak bisa menerimanya.

"Dengar, kabar baiknya," aku mencoba melunakkan tatapannya itu, "kamu mungkin mendapatkan mentor!" aku mencoba terlalu antusias yang malah terdengar aneh.

"Well, tidak masalah jika kamu belum siap menjalaninya. Lagipula kamu masih harus fokus sekolah juga. Hah, padahal sewaktu aku sekolah dulu, aku sudah menerbitkan buku."

Maia mulai bergerak, sedikit demi sedikit mendekati sofa dan akhirnya duduk. Walau dia belum memperbaiki ekspresi wajahnya, tidak masalah, itu hanya persoal waktu. Aku juga yakin takkan lama.

"Kamu membagikan ceritaku yang mana?" tanyanya tanpa benar-benar berusaha menggerakkan bibirnya.

"Melodi Mayang."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 04, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MissionaryWhere stories live. Discover now