Yang Tak Tertanggungkan

32 11 0
                                    

Pukul dua malam. Aku terus menatap ke arah jam dinding sesekali menengok keluar jendela. Kuraih ponsel dengan ganas. Tidak bisa di telepon. Lagi-lagi tidak diangkat. Kali ini tidak aktif. Apalagi yang sedang gadis itu lakukan di luar sana? Apa dia berpikir setelah ucapannya terakhir kali agar aku tidak mencampuri hidupnya bisa membuatnya bersikap seenaknya seperti ini?

Ini memang rumah orang tua kami dan kami hanya tinggal berdua. Semenjak ibu pergi setelah kanker perut stadium empat menghabisi hidupnya, rumah ini tidak mirip seperti rumah, hanya tempat persinggahan sesaat sebelum kamu keluar melanjutkan hidup. Tidak ada kehangatan, walau sejak ibu di sini rumah ini sudah dingin tapi sekarang terlampau dingin seakan mayat ibu bersemayam di sini mengamati kami tanpa bisa berbuat apa-apa.

Aku meraup wajahku. Seluruh hidupku mungkin akan dipertaruhkan. Aku melihat daftar teleponku dan berhenti di satu nomer cukup lama, nomer yang aku hubungi beberapa waktu lalu, nomer laki-laki itu.

Di dering keempat telepon diangkat.

"Halo," suara setengah parau laki-laki itu terdengar.

"Bukankah aku menyuruhmu berhenti menghubunginya?" Aku tidak bisa menahan teriakanku. "Aku tau laki-laki sepertimu tidak akan berhenti. Aku hanya meminta sedikit waktu lagi! Aku memintamu menunggu. Aku sudah berniat menemuimu dan membayar semuanya! Jadi berhenti menemuinya!" Aku berteriak. Aku menggila. Benar-benar menggila karena jika dia tidak mendengarkan ucapanku, aku mungkin akan berubah menjadi makhluk yang bahkan aku sendiri tidak bisa mengenalinya.

Laki-laki itu diam. Suaranya kemudian terdengar menjauh dari telepon. Dia berpamitan pada seseorang untuk mengangkat telepon itu sebelum suaranya kembali masuk ke telepon.

"Aku tidak tahu seperti ini etika seorang guru di telepon."

"Jangan menyebut-nyebut soal etika, kau maniak sinting! Berhenti main-main denganku, aku tahu kamu bersama Maia."

"Aku juga tahu kamu sudah kehilangan akal soal adikmu, tapi menuduh itu juga butuh tahapan."

"Di mana dia?"

"Jika kamu meminta jawaban benar, aku tidak tahu. Tapi jika kamu meminta jawaban yang mendekati dia mungkin sedang berada di salah satu klub, menari, sambil menghisap ganja."

Aku langsung menutup teleponnya saat itu juga. Aku benar-benar tidak suka bagaimana laki-laki ini berbicara, atau bagaimana dia menjawab setiap ucapanku padanya. Rasanya terlalu menjijikan untuk membiarkan suaranya masuk ke dalam telingaku. Jika benar dia tidak bersama Maia, maka Maia sedang membuat masalah yang lain.

Aku berjalan ke teras rumah, tempat di mana ibu menyimpan barang-barang sekaligus menjadikan tempat itu sekelas gudang. Kusingkap kain parasut yang menutupi sesuatu yang besar di sana, motor, motor peninggalan ayah. Ibu beberapa kali menyalakaannya, tapi semenjak ibu terlalu sakit, dia tidak pernah melakukan apa-apa. Menghabiskan sisa waktu hidupnya untuk merenungi hidupnya yang hampir habis.

Aku juga tidak yakin apa motor itu masih bisa menyala. Setelah lama tidak dipakai, akinya mungkin sudah kering, mesinnya mogok. Aku mengambil kunci dari dalam dan mulai menstarter. Benar, berbunyi sebentar dan mati. Aku tak ingin putus asa.

"Kumohon, kumohon," terus kugumamkan tiada henti.

Empat kali percobaan dan kondisi motor benar-benar brebet. Aku melihat sekitaran motor dan menemukan botol literan yang kumedian kucium dari dekat aromanya, aroma bensin. Aku membuka tutup tangki dan menuangkan bensin itu ke sana. Beribu harapan kembali kupanjatkan, setidaknya tidak ada salahnya mencoba. Kustarter lagi mesin motor, motor itu mulai meraung kemudian aungannya mengeras dan berubah stabil. Senyuman begitu saja merekah.

Kutarik motor itu keluar dari tumpukan rongsokan yang lain. Aku juga menemukan helm ayah di antara rongsokan itu. Kutarik menuju gang kecil di depan rumah, kunaiki dan kubawa, setidaknya setelah sekian lama, memasuki jalanan kota.

MissionaryWhere stories live. Discover now