Rutinitas Kehidupan

69 13 0
                                    

"Bening! Teleponmu," seorang menyadarkanku dan menyenggol lenganku, menyadarkanku untuk kesekian kalinya hari itu. "Kamu tidak fokus hari ini. Sakit?" tanya Ibu Yanuar. Kaca matanya bertengger di puncak hidung dan matanya keriput. Umurnya sudah kepala lima dan semua kecemasan tergambar jelas di wajahnya. Dia bahkan selalu merasakan semua hal tidak benar yang terjadi tanpa seseorang menerangkan kepadanya. Seakan punya indra keenam, dia tahu siapa yang berbuat salah pada siapa. "Masalah adikmu lagi?" tanyanya.

Aku meneguk ludah dan menegakkan tubuhku. Kuraih telepon yang terus bergetar tanpa suara itu dan aku beranjak keluar dari ruangan. Nama salah satu teman lama muncul di sana, bahkan aku tak ingat pernah menyimpan namanya dan mengira dia juga sudah mengganti nomer ponselnya dari jaman kuliah. Tak terpikir apa yang dia akan katakan setelah lama tak bertemu, mungkin lima tahun yang lalu saat reuni jurusan dua tahun setelah kelulusan.

"Halo."

"Bening? Ini aku Mayesha."

"Isa," aku tersenyum walau dia juga tidak bisa melihatku tersenyum.

"Kudengar kamu mengajar di SMA 23 ya, aku dengar dari anak-anak."

"Ya, baru dua tahun. Bahasa jerman."

"Bisa bertemu, nggak? Ada yang mau aku tanyain sih, masalah persekolahan dan lain-lain. Ponakanku lagi cari sekolah."

"Ya, tentu," aku bahkan tidak yakin bisa membantunya soal ini. Lagipula sekarang sekolah negeri sepenuhnya diatur pemerintah daerah. Terlebih sekarang ada kebijakan zonasi yang mulai dimarakkan sehingga sulit mengatakan bahwa sekolah satu bisa lebih menonjol ketimbang sekolah yang lain. Walau beberapa orang masih menganggap cara ini memiliki dampak negatif, bagiku justru sebaliknnya karena anak-anak yang menonjol bisa membantu sekolah yang mungkin tadinya tidak menonjol dan anak-anak kurang mampu agar tidak merasa tidak percaya diri. Cara ini bisa dibilang cukup efektif untuk menyamaratakan ego tiap wilayah.

"Di mana? kudengar ada kafe bagus di dekat sana."

"Asal jangan di tempat anak-anak banyak nongkrong sih oke."

"Kamu deh yang pilih tempatnya, nanti malam?"

"Boleh, nanti aku chat nama tempatnya."

Kupikir memang seperti inilah hidup harus berjalan. Selama ini aku sudah terlalu banyak menghindari kehidupan sosial yang seharusnya aku dapatkan. Aku hanya kerja tetap dan kerja sambilan sesekali mencuri cara untuk memberikan les privat. Semua waktu kuhabisan untuk mendapati tubuhku mati rasa dan aku sadar itu hanyalah pelarian untuk menghadapi kenyataan yang ada. Aku bahkan tidak mengatakan apapun pada Maia, seakan tidak ada yang terjadi. Dia bahkan menyadari ada yang salah, menyadari bahwa aku mungkin tahu apa yang sudah dia lakukan dan dia diam saja seperti tak berdosa. Kami makan dalam diam, terkadang menghindari makan bersama, lebih banyak menghabiskan waktu untuk masing-masing ketimbang mengobrol. Aku hanya tidak tahu kapan harus benar-benar menghadapinya tanpa kehilangan kontrol atas diriku.

Di satu waktu dia meninggalkan ponselnya di meja makan selagi dia berlari ke kamar mandi, biasanya dia bahkan membawa ponsel itu kemana-mana seperti senjata rahasia. Aku menengok layarnya dan sudah di password. Beberapa hari lalu saat aku memergoki isi ponselnya, dia lupa me-passwordnya. Aku mencoba membukanya dengan beberapa kali coba dan hasilnnya nihil. Tidak terbaca.

Maia keluar dari kamar mandi dan kembali ke tempat dia meninggalkan ponselnya sebelumnya. Aku bergeser menjauh setelah meletakan gelasku ke tempat cuci piring. Maia bergeming, kali ini sama-sama tidak bisa menghentikan dirinya.

"Kenapa kamu tidak bilang apa-apa?" Dia menghentikanku saat aku hendak masuk ke kamar, "lebih baik kamu mengatakan sesuatu daripada bersikap seperti ini."

MissionaryWhere stories live. Discover now