01. Sebab Tidak Ada yang Baik

297 23 0
                                    

Berkisah di suatu tempat di belahan bumi bagian timur, dengan suasana perumahan khas kampung lengkap dengan sawah sebagai pemandangan. Dua manusia kecil sedang terlentang di rerumputan menatap langit yang cerah, tak perduli pada sengatan terik matahari yang perlahan menusuk permukaan kulit.

“Kalau ada mesin yang bisa merubah takdir, kamu mau merubah takdirmu seperti apa?”

Perempuan dengan rambut sebahu itu masih betah memandang pada satu poros dengan mengamati awan yang terus bergerak.

“Aku mau sampai ke tahap ini aja.”

Gadis berambut ikal itu menatapnya protes, “Kenapa? Kamu nggak punya mimpi kah?”

“Mimpiku tuh sederhana cukup punya keluarga yang utuh.”

“Kalau keluarganya utuh tapi nggak ada kasih sayangnya gimana?”

“Ya nggak gimana-gimana, lebih baik begitu dari pada ada yang hilang,” sahut gadis berambut sebahu.

Mata Minggu—gadis berambut ikal itu hanya melirik tidak jelas.

“Kalau aku sih pengennya hidup di keluarga orang kaya biar bisa beli semua yang aku mau,” kata Minggu padahal gadis di sampingnya tidak menanyakan apapun.

Suara tawa terdengar dari sebelah, menimbulkan kesan arogan bagi Minggu yang mendengarnya, “Bumi kenapa ketawa? Ada yang lucu?!”

“Aku rasa memang anak seusia kamu selalu bermimpi hal yang sama.” tawa Bumi mereda.

Perempuan dengan rambut sebahu itu masih tidak mau menatap selain dari langit yang berada jauh di depannya.

“Bumi, apa yang menjadi mimpimu?”

“Selalu hidup dengan perasaan bahagia.” Minggu menyela cepat.

“Memangnya selama ini hidup kamu nggak bahagia?” tanya Minggu.

Bumi tertawa kecil, “Kalau kamu sudah dewasa kamu akan mengerti ada beberapa hal yang memang tidak semua manusia perlu tau.”

“Aneh,” gerutu Minggu, “Lalu, bagaimana cara kamu meraih mimpimu itu?”

“Menghilang.”

Minggu semakin mengerutkan keningnya, tidak mengerti pada apa yang selalu diucapkan oleh saudaranya. Pun, Bumi yang selalu merasa tidak ada yang perlu diperjelas karena memang semua sudah jelas.

Selalu ada jawaban dari setiap pertanyaan yang ada. Namun, beberapa pertanyaan memang membutuhkan waktu sebagai penjawabnya.

Minggu kecil tidak pernah mengerti pada apa yang selalu ada dalam benak saudaranya atau mungkin tidak mau mencoba memahami? Apapun yang menjadi alasannya, Bumi lah yang paling mengetahui prihal apa yang selalu ia ucapkan.

Mereka mengakhiri perbincangan sore itu. Di mana Minggu menghentikannya karena pembahasan tersebut dirasa sudah membingungkan dan hambar.

“Ibu, Ibu!" teriak Minggu menghampiri sosok perempuan paruh baya yang sedang sibuk memasak di dapur, di belakang Minggu masih ada Bumi yang sedang mencoba mensejajarkan langkahnya.

“Apa Minggu? Kenapa heboh banget?”

“Masa cita-cita Bumi menghilang. Aneh banget kan, Bu?”

Ibu menatap Bumi yang hanya menampakkan wajah datarnya.

“Semua orang nggak bisa kamu paksa sepemikiran kayak kamu,” gerutu Bumi mendorong kepala adiknya karena kesal.

“BUMI!” teriak Minggu membalas dengan tangannya yang mencubit habis badan perempuan itu.

Dua manusia itu terlibat aksi saling pukul memukul. Namun, Ibu buru-buru mengalihkan agar tidak terjadi hal yang serius. Telat, karena Minggu sudah menangis lebih dahulu.

“Jangan sama-sama kalau berakhir nangis aja,” omel Ibu menatap dua anak itu dengan sengit.

Minggu masih mengusap air matanya yang berjatuhan. Pun dengan Bumi yang merasa emosinya masih meledak-ledak.

“Dasar lemah,” cibir Bumi.

“Dasar aneh!” balas Minggu tidak mau kalah.

“Minggu, Bumi!” peringat Ibu, menatap dua orang itu tajam.

“Lagian Minggu ngeselin, Bu, memangnya salah ya kalau Bumi mau menghilang?”

“Husstt kamu ni masih kecil. Memang mau menghilang ke mana?”

“Jauh yang nggak bisa orang-orang ketemu sama aku.”

Ibu tertawa mendengarnya, “Kok tega ninggalin, Ibu?”

“Aku nggak bilang itu pasti, Bu. Makanya Ibu jangan tinggalin aku, biar aku bisa selalu ada di belahan bumi ini.”

Saat itu Ibu hanya menepuk kepala anak tersebut sayang. Buminya dengan segala celetukan yang menurutnya tidak pernah masuk diakalnya.

***

Waktu terasa berlalu lebih cepat, suatu hari Bumi yang beranjak remaja mengajak Minggunya untuk membeli es cream.

“Bumi terima kasih ya, sering-sering traktir kayak gini." kalimat manis itu sebagai pembuka obrolan dua manusia yang sedang menikmati es creamnya.

Di tengah perjalanan pulang, Bumi tidak sengaja menatap dua orang dewasa sedang berdiri di depan minimarket. Bumi tidak mau percaya bahwa lelaki yang berada di sana adalah Bapaknya dengan perempuan lain, tapi mau bagaimana pun pada kenyataannya memang iya.

Bumi tidak menceritakannya pada Minggu dan memilih memendamnya sendiri. Baginya, Minggu masih terlalu kecil untuk diajak membahas permasalahan demikian. Cukuplah dirinya sendiri.

Ibunya pun di rumah kepergok Bumi sedang menangis. Awalnya Ibu tidak mau menceritakan apapun, tapi ketika Bumi menceritakan apa yang dilihat Ibu akhirnya mulai membuka suara.

Dan mungkin Ibu memang sudah mulai mempercayai seiring bertambahnya usia. Semilir angin sore yang menembus kulitnya pada hari itu menjadi saksi betapa sakit hatinya seorang anak perempuan.

Cerita Ibu yang menjelaskan bahwa Bapaknya sedang mengalami pubertas kedua membuat emosi Bumi benar-benar mendidih. Selama ini mungkin permasalahan rumah tangga sudah biasa menjadi konsumsinya sehari-hari karena memang orang tua tersebut tidak pernah memahami bahwa masih ada anak kecil di sana yang mentalnya masih tidak cocok menerima segala hal tersebut.

Kedua mata Bumi sampai berair.

“Bu, aku benci, Bapak," ucap Bumi disela tangisnya.

Ini bukan yang pertama, tapi kesekian kalinya tapi ini yang paling menyakitkan karena Bumi melihatnya langsung.

Dan Ibunya selalu menjadi manusia paling kuat di tengah pedihnya tancapan duri pada ulu hati.

“Jangan pernah membenci seseorang, karena bagaimana pun dia adalah orang tuamu juga.”

Hanya itu pesan yang disampaikan Ibu. Agar Bumi selalu bisa mengingat bahwa sesakit apapun hatinya, Bapak adalah orang tuanya juga.

Kebaikan, ketulusan, dan kasih sayang dari Ibunya memang akan selalu terkenang sampai besok, lusa, dan selamanya. Mungkin sejak lahir, Bumi sudah mempunyai ketakutan atas yang terjadi. Tapi tidaklah ada ketakutan paling luar biasa selain ditinggal Ibu menghadapi dunia fana ini sendirian.

TERASINGWhere stories live. Discover now