04. Perkenalan

36 9 1
                                    

Seminggu sudah waktu berlalu. Sore itu Bumi memilih mengisi perutnya di suatu restoran padang yang beberapa hari lalu sudah grand opening.

Bumi memesan nasi padang lengkap. Ketika berbalik ia malah menabrak dada tegap seorang lelaki yang sudah berdiri di depannya.

“Maaf,” ucapnya yang tidak ditanggapi Bumi.

Perempuan itu setengah sebal tapi memilih untuk tidak ambil pusing dan duduk di bagian kursi kosong.

Seminggu sudah sejak kepulangan yang membawanya menuju ingatan luka-luka yang sampai hari ini belum juga kering.

Mungkin kalau bukan karena Ibu, Bumi tidak mau menginjakkan kakinya lagi di sini dan semoga sampai besoknya lagi tidak akan ada pertemuan dengan orang-orang yang pernah menemani kehidupannya.

Di tengah-tengah mulutnya yang mengunyah makanan, Bumi terkesiap ketika seorang lelaki tiba-tiba berdiri di sampingnya.

“Permisi, boleh duduk di sini?”

Bumi menoleh mendapati lelaki yang tadi ditabraknya berdiri menunggu persetujuan. Beberapa meja yang tadinya kosong juga ternyata sudah penuh.

Terpaksa akhirnya Bumi mengatakan,  “Iya.”

Beruntung lelaki di depannya ini tidak cerewet bertanya. Masalahnya Bumi malas untuk berinteraksi.

Beberapa menit kemudian lelaki itu melambaikan tangannya. Bumi tidak mau melirik dan hanya fokus pada gawai serta makanan di depannya.

“Sudah lama?”

“Baru duduk di sini.”

“Dimana pacarmu? Aku mau bilang selamat atas restaurant barunya.”

Bumi seolah tidak asing dengan suaranya, mencoba untuk mengingat dimana.

Gamma yang berdiri di dekatnya menyadari siapa gadis di samping ini. Aroma parfumnya pun masih Gamma tanda. Senyumnya langsung terbit setelah memastikan.

“Selingkuhan?” Gamma melirik perempuan itu sebagai pertanda.

Alister sontak memukul bahu sahabatnya, “Sembarangan!” sentaknya.

Alister pergi tanpa sepatah katapun, meninggalkan Gamma yang masih memperhatikan gerak-gerik Bumi yang sedang asik dengan dunianya.

“Bumi, akhirnya semesta mempertemukan kita lagi.” Gamma duduk di depannya.

Bumi sontak mendongak, wajahnya terkejut mendapati kehadiran lelaki berbeda yang sudah duduk di depannya.

“Kamu? Cowok yang tadi ke mana?”

“Alister maksudmu? Aku nggak tau.”

“Kamu ngapain ada di sini? Kenapa duduk di depanku?” Bumi menyapu pandangannya ke seluruh penjuru, dia menunjuk beberapa kursi kosong agar Gamma pindah dari hadapannya.

“Senang bertemu kembali, nona,” ucap Gamma tidak menghiraukan kode dari Bumi.

Ekspresi Bumi sudah berubah, antara sebal, dan merasa kehadiran Gamma terasa menyebalkan.

“Karena sudah bertemu, ayo berikan nomer whattssapmu.”

Gamma menyerahkan sebuah gawai berlogo apel digigit, menyediakan agar Bumi hanya akan menekan beberapa angka yang menjadi nomernya.

“Buat apa?” tanya Bumi heran mengapa lelaki di sampingnya sangat semangat untuk mendapatkan nomernya.

“Memulai sebuah perkenalan,” jawabnya.

Bumi berdecak, “Memulai sebuah perkenalan tidak harus dengan saling bertukar nomor, kalau ingin berkenalan coba cari cara yang lebih keren.”

“Memangnya ada cara lain memulai perkenalan yang lebih manis dari sekedar bertanya nomer whattssap?”

“Banyak,” jawab Bumi.

Gamma menangkup sebelah dagunya menggunakan tangan, sambil masih memperhatikan manusia di depannya.

“Salah satunya?”

“Tanyakan sendiri pada wanita yang kau cintai, Tuan,” balasnya, satu sendok penuh makanan dimasukkan ke dalam mulutnya, matanya masih menatap lelaki di depannya.

Gamma tertawa kala pipi Bumi penuh berisi makanan. Beberapa orang di sekeliling mereka mulai melirik.

Beberapa dari mereka membisikkan prihal keberadaan Gamma, yang katanya tampan dan manis. Semua hal memang selalu berkaitan dengan fisik dan Bumi menyadari jauh perbedaan antaranya dan Gamma.

“Gamma, ini cewekku!” Alister datang menarik perempuan yang selama dua tahunan ini menemani kisah romansanya.

Gamma berdehem sejenak, menyambut kedatangan kekasih Alister yang juga sebagai pemilik restauran terbaru.

“Selamat ya untuk usaha terbarunya.”

Gadis di depannya menyambut dengan hangat. Bumi berdiri untuk ke toilet tapi baru saja berbalik pergerakannya langsung berhenti.

Tubuhnya seketika kaku, pandangannya tertuju pada perempuan yang baru saja diberi selamat oleh Gamma. Pandangan Bumi kabur karena pelupuk matanya basah.

Tidak jauh berbeda dengannya. Minggu juga sama. Terkejut akan kehadiran Bumi yang tiba-tiba.

Orang yang sudah pergi sejak beberapa tahun lalu sekarang tiba-tiba berada di sini.

Baik Alister maupun Gamma hanya saling tatap.

Jantung Bumi semakin berdegup kencang. Ia kembali ke alam sadarnya saat Gamma menepuk pundaknya.

Lelaki itu menatapnya dengan senyum tulus, “Sekalian aku kenalin, ini Minggu pemilik restauran baru ini dan Minggu ini Bumi.”

Alister memberi tatapan bertanya pada sepupunya itu.

“Aku kenalan di atas udara.” dan ditanggapi oleh Alister dengan senyum misteriusnya.

“Salam kenal Bumi, aku Alister pacarnya Minggu dan sepupunya Gamma.”

Pada giliran Minggu yang berjabat tangan, perempuan itu menahan nafas sejenak berusaha menetrealisirkan perasaannya.

Baru kemudian mengulurkan tangan, “Minggu,” ucapnya.

Perlahan mau tidak mau Bumi membalas jabatan tangan itu, “Bumi.”

“Salam kenal, semoga kita bisa berteman baik tanpa harus mengenal kata asing dari sebuah perpisahan.” sebuah kalimat dari Minggu sebelum pada akhirnya memilih untuk hilang dari pandangan orang-orang.

Minggu banyak berubah. Menurut Bumi. Banyak hal yang telah berbeda mulai dari penampilan, cara berbicara, sampai cara berprilakunya. Tangan Bumi sampai bergetar ketika berjabat tangan dengannya.

Semuanya berbeda. Adik kecilnya Minggu sudah jauh lebih baik dari sejak terakhir mereka bertemu.

Bumi masih diam di tempat sambil menatap punggung yang sudah menghilang dari pandangannya.

“Hey!” panggil Bumi dengan tangan yang menahan lengan Gamma.

Tangan Bumi mencengkram lengan lelaki yang baru saja baru beranjak dari posisinya.

Gamma tersenyum puas. Ia menoleh.

“Gamma,” sebutnya membenarkan.

“Iya maksudku Gamma.”

“Iya, Bumi. Kenapa?”

“Kamu ada waktu luang?”

Mata Gamma melirik arloji di tangannya, “Aku fikir aku harus pergi, sebentar lagi ada meeting. Kenapa, nona?”

Bumi menggelengkan kepalanya.

“Nggak jadi.”

“Tapi kalau kamu mau mungkin kita bisa ... ” Gamma menyerahkan gawainya.

Bumi meraihnya dan menekan beberapa angka yang sudah ia hafal di luar kepalanya.

“Terima kasih, Bumi, selamat menjalani masa perkenalan bersama Gamma.”

“Ingat, jangan jatuh cinta!” gerutu Bumi sebal.

Kedua kakinya melangkah mendahului Gamma yang masih tersenyum puas di tempatnya. Kedua matanya masih menatap layar gawainya yang menampilkan angka cantik.

“Jangan jatuh cinta? Bahkan sebelum ada peringatan itu, aku sudah jatuh cinta,” gumamnya.

TERASINGWhere stories live. Discover now