03. Mengudara bersamamu

50 11 0
                                    

"Bumi!"

Bumi mendapati sepasang mata Jeremy yang menatapnya hangat. Ia membawa beberapa makanan dan minuman. Ketika melihat packingan di depannya, bahu Jeremy langsung merosot tidak bersemangat.

"Kamu benar-benar serius mau pulang, Bumi?"

Perempuan dewasa itu mengangguk.

"Just for a one month, buat jenguk Ibuku aja," begitu jelasnya.

Jeremy menepuk pundak sahabatnya.

"Kamu yakin?"

"Yakin untuk ketemu sama Ibuku, tapi kalau sama yang lain. Aku nggak yakin."

"Nggak perlu dipaksain Bumi, semua yang dipaksa itu selalu berakhir nggak baik."

Bumi memberhentikan aksi menata bajunya. Matanya lurus memandang ke bawah untuk beberapa kali, perasaannya selalu hampir berhasil membuatnya ragu.

Bertahun-tahun sudah sejak Ibu pergi tidak ada yang berubah dan lukanya masih tetap sama. Bedanya sekarang ia berdiri di kaki sendiri di negeri orang.

Kedatangan Ibu pada mimpinya beberapa bulan lalu pada akhirnya membawa Bumi kembali pada keputusannya yaitu pulang untuk sekedar bertemu Ibunya.

"Aku sekedar bertemu Ibu, selebihnya aku hanya ingin menikmati waktuku selama berada di sana." begitu jelasnya lebih lanjut.

Jeremy mengangguk supportif, "Iya dan nikmati semua perjalanan hidupmu."

Perjalanan dari Ausie terlalu menyenangkan. Selama di perjalanan hanya pesona langit yang selalu ditatap manis oleh Bumi. Penumpang di sebelahnya beberapa kali melirik dan Bumi menyadari itu, tapi ia acuh.

Bumi mengambil headphonenya dan memutar lagu Nadim Amizah yang belakangan ini kerap kali menemani indra pendengerannya.

Jemari tangannya bergerak lincah membentuk rangkaian kata menjadi diksi indah.

"Selalu ada yang sakit dan bagian menyakiti, tapi itu tentang bagaimana kamu caramu menanggapi," celetuk pria di samping.

Bumi tidak mau menoleh, tapi dari ekor matanya dia masih bisa melihat lelaki itu tengah menatapnya.

"Sesakit apa hatimu, nona, sampai kamu mengabadikannya dalam karyamu?"

Kepala Bumi kali ini menoleh. Sepasang mata itu menatap mata tajam di depannya. Dia tidak menyangka bahwa dibalik keliatan sibuknya, lelaki di sampinganya masih mau mengurusi hal sekecil ini.

"Excuse me, sir?"

"Penulis?"

Bumi menggeleng.

Lelaki di sampingnya manggut-manggut kemudian tangannya diulurkan, "Gamma," sambungnya.

"Bumi," balasnya memulai perkenalan.

"Bagus," lanjut Gamma mengomentari nama perempuan tersebut.

"dan aneh," sambung Bumi.

Sebelah alis Gamma naik, "Siapa yang bilang aneh? Nama kamu bagus orang tuamu sepertinya memikirkan ini dengan matang-matang kamu tau kenapa dinamakan Bumi?"

Bumi mengangguk, "Ibuku pernah bercerita, selayaknya bumi yang dijadikan tempat tinggal manusia, Ibu berharap agar perasaanku bisa selapang bumi yang walau dirusak manusia masih tetap baik dan menebar kebermanfaatan tapi aku merasa Ibuku salah buktinya sampai sekarang aku masih belum bisa menerima kenyataan ditinggal olehnya."

"Harapan-harapan yang diucap oleh Ibumu tidaklah lain agar kamu bisa merenungi dan melakukannya dalam kehidupanmu."

Bumi mengangguk, mengiyakan.

"Mau pulang ke mana?" Gamma mulai mengalihkan topik.

"Aku kira kamu manusia sibuk, rupanya masih ada waktu untuk bertanya hal demikian," sindirnya yang dihadiahi tawa pelan oleh Gamma.

Mata Bumi mengamati penampilan Gamma yang terlihat formal mulai dari kemeja, jas, sepatu, celana, sampai dasi. Semua pasang mata pun dapat mengambil kesimpulan bahwasanya lelaki itu bukan dari kalangan biasa. Semua terlihat serba mahal dan bernilai uang.

"Manusia selalu punya rasa keingintahuan yang kuat. Itu hakikatnya."

"Dan manusia selalu punyak hak baik untuk menjawab atau tidak dan aku memilih opsi kedua."

"Baik," putus Gamma pada akhirnya memilih diam sampai mereka tiba di negara tujuan.

Bumi merasa tenang karena lelaki itu telah berhenti mengajaknya berbicara. Meski dalam beberapa kesempatan dapat melihat bahwa mata tajam itu sedang meliriknya.

"Bumi!" panggil Gamma ketika perempuan itu mulai selangkah meninggalkan bandara.

Kepala gadis itu menoleh, mendapati Gamma yang sudah berdiri di belakang. Di belakang lelaki itu lagi sudah berdiri beberapa orang yang diyakini sebagai bawahannya, terbukti dari semua barangnya yang dibawakan.

Saat Gamma mulai mengikis jarak di antara mereka, dua lelaki berbadan kekar itu juga ikut. Melalui tangannya Gamma memberi kode agar menyudahi langkahnya.

Gamma mau mendapat ruang agar Bumi merasa nyaman, agar tidak ada yang mengetahui perbincangan mereka.

"Ayo bertemu lagi di bagian selanjutnya. Saat waktu itu tiba, aku berharap kamu sudah mau memberikan nomer whattsapmu," ujar Gamma setelah berdiri di hadapannya.

Bumi sampai menatap heran, ia menaikkan pandangan menatap lelaki tinggi di depannya.

"Kita tidak akan pernah bertemu lagi sekali pun itu di dunia selanjutnya, kalau ada kesempatan pun aku juga masih tidak mau memberikan apapun tentangku padamu," jawabnya.

Gamma tersenyum menanggapinya, tidak menduga akan didapati jawaban seperti tadi, "Berdoalah semoga Tuhan tidak membalikkan hatimu."

"Mari akhiri pertemuan kita. Anggap saja aku hanyalah gadis biasa yang pernah kamu pergoki sedang merangkai kalimat di atas pesawat dan aku akan menganggapmu sebagai lelaki yang pertama kali membaca bagian terbaru dari ceritaku."

"Aku selalu percaya kalau takdir akan selalu mempertemukan orang-orang yang memang sudah dijanjikan untuk bersatu," tolak Gamma pelan. Mata lelaki itu masih tetap mengamati dengan lekat gadis di depannya.

Bumi merasa asing. Mereka tidaklah lebih dari dua manusia yang tidak sengaja dipertemukan karena mempunyai tujuan yang sama. Tidak lebih.

"Ayo bertemu tapi dengan syarat," kata Bumi setelah memikirkan matang-matang.

Walau membingungkan tapi Gamma merasa tidak keberatan dan semakin merasa penasaran. Sejak tadi, Gamma selalu merasa penasaran tentang Bumi. Entah tentang kehidupannya dan tentang semua yang ada dalam dirinya.

"Jangan jatuh cinta."

"Akan aku usahakan," balas Gamma, "Walau hal itu sudah terjadi sejak pertemuan awal," lanjutnya.

TERASINGWhere stories live. Discover now