Bag 2: Where's the Plan?

8.5K 191 9
                                    

Bag 2: Dengan adanya harapan, seorang akan percaya bahwa pada dasarnya semua orang memiliki kebaikan (Superman)


Sekolah memang kerap kali ramai, terlebih saat hari-hari medekati ujian. Tapi kali ini aku dan teman-temanku duduk di depan kelas seusai mata pelajaran eksklusif yang di berikan sekolah untuk minggu-minggu terakhir ini sebelum liburan. Aku masih disini karena aku belum di jemput oleh papa, memang jam pulang jadi tidak teratur beberapa hari ini. Tapi aku sudah memberitahu untuk menjemputku lebih awal, aku tau papa sibuk dan karena itu pula aku masih duduk santai disini menunggu lamanya papa menjemput.

Kali ini teman-temanku sedang bergosip ria, walaupun buku-buku berserakan di sekitar kami, tapi sepertinya itu tidak akan cukup untuk membuat kami fokus pada tugas yang ada. Bahan gosipan kali ini sangat seru hingga membuatku pening, karena bahasan kali ini adalah aku, aku dan perjodohan.

"Sebenarnya perjodohan itu nggak buruk kok, kadang orang tua kan lebih tahu apa yang terbaik untuk anaknya, apalagi Om Zayn," goda Renna seakan aku benar-benar akan dijodohkan, teman-temanku memang paham bagaimana posesifnya papa kepadaku. Aku hanya melengos kesal saat tawa Anis berada di belakangnya.

"Sumpah ya Sof, aku nggak nyangka saja, di antara kita, kamulah yang akan menikah lebih dulu," Anis kembali tertawa, aku hanya bisa diam. Ya aku memang terdeteksi waktu akan menikah secepatnya, terlebih menikah dengan laki-laki seperti Sami, andai teman-temanku ini tau, mereka tak akan berani tertawa seperti itu padaku, terlalu miris.

"Aku jadi penasaran dengan calonmu itu, punya fotonya nggak?" tanya Natha yang membuatku hampir geram, aduh! apa-apaan sih mereka ini!

"Teman-teman, bagaimana sih kalian bisa menyimpulkan begitu cepat, aku tidak akan dijodohkan, itu cuman rencana gila orang tua kami," Aku protes juga.

"Sof Sof, kan aku sudah bilang nggak ada salahnya nikah..."

"Ren, please ya, aku nggak akan pernah nikah karena dijodohkan, titik. Sekolah belum kelar, mikirin mau kuliah juga sudah bingung setengah mati," aku memotong.

"Tapi kalau cowoknya tampan sih, nggak pa pa, Sof," kata Anis menahan tawa, dia memang hobi menggodaku, apalagi posisiku yang benar-benar terdesak ini.

"Apaan sih, Nis," kataku kemudian mengeplak kepalanya pelan. Mereka kembali terbahak.

"Kok iya sih cewek culun kaya gini bisa laku juga," Kata Anna menarik kepalaku ke belakang dan mencubit ke dua sisi pipiku ganas. Aku meringis serta merintih, ini penyiksaan namanya.

" Lepasin!!" jeritku sepanjang koridor.

"Ayolah Sof, dia pasti tampan, kan, sampai kamu rela menyerahkan keperawananmu dalam waktu dekat?" Anis kembali tertawa, okey, ini sudah cukup karena kami sudah membicarakan ini selama satu jam tanpa henti. Aku tidak yakin kalau pembicaraan ini akan berakhir baik, buktinya saja aku sudah dapat mendengar perkataan mesum Anis di tambah Anna yang menimpali.

"Enak kali ya bisa nikah cepat nggak perlu repot cari calon, nggak perlu tu have fun trus dimarahin orang tua," aku pun melengos, memang mereka tau siapa orang yang akan menikahiku sampai-sampai bicara seperti itu, Have fun katanya?

"Eh? tapi benerkan Sof, calonmu itu sesuai selera? kalau dijodohkan tapi dengan om-om tua penyot sih jangan mau," kata Renna.

"Sudah ah, kalian makin ngaco, aku ke kelas dulu ambil tas, mau pulang," kataku kemudian segera beranjak, setelah aku berdiri pun mereka masih membahas hal yang sama. Sebaiknya aku mengirim pesan pada papa kalau aku pulang lebih cepat dan tidak ada kelas tambahan. Terkadang ayah memang akan menyempatkan untuk menjemputku. Terkadang kami menikmati waktu berdua yang singkat itu mampir ke suatu tempat entah untuk makan, membeli buku, atau hanya ngobrol.

Marry YouWhere stories live. Discover now