4 | INTO THE LION'S DEN

37.4K 3.6K 500
                                    

"Kau sama sekali tidak mendengarkanku, bukan?"

Dashiell mengusap pelipisnya dan memejamkan mata, tidak mempedulikan pertanyaan yang terlontar dari bibir Eloise. Hari ini suasana hatinya sungguh buruk tanpa perlu ditambah dengan rengekkan adik perempuannya yang meminta ijinnya untuk melakukan sesuatu.

"Ayolah, Kak. Tidak bisakah kau mengijinkanku sekali ini saja?" pinta gadis itu setengah memelas.

"Tidak, El. Aku tidak mengijinkannya," jawab Dashiell tanpa membuka matanya.

Eloise menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan memberikan tatapan kesal. "Kenapa? Umurku sudah genap 18 tahun!"

"Tidak."

"Kau sungguh keterlaluan, Kak! Padahal dulu kau sendiri sering -"

"El!" seru Dashiell marah. Kedua matanya kini menatap gadis itu dengan tatapan memeringatkan agar ia tidak membahas hal yang sudah kerap dilarang olehnya karena hanya membuatnya mengingat masa lalu yang ingin ia kubur sedalam mungkin.

Mendengar nada ucapan Dashiell, gadis itu mengatupkan bibirnya rapat namun tidak sebelum dengan lirih berkata, "Tidak adil."

Dashiell menghelakan napasnya. "Aku sudah sering berkata bahwa kau boleh melakukan apapun kecuali itu."

"Aku hanya ingin melihat-lihat, Kak. Aku tidak akan kecanduan seperti -"

"El." Kali ini peringatan Dashiell terdengar lebih tenang namun masih sama tegasnya.

"Apa artinya kau tidak mempercayaiku, Kak?" Eloise menaikkan tatapannya memandang kedua mata Dashiell berani. "Atau kau tidak mempercayai dirimu sendiri?"

"Aku hanya tidak ingin mengingat hal yang dulu menjerumuskanku." Dashiell berjalan memutari meja kerjanya kemudian berjongkok di hadapan adiknya. Dengan lembut ia menggenggam kedua tangan Eloise yang terkepal di atas pangkuannya sendiri. "Aku tidak bisa jika sampai namaku kembali dikaitkan dengan hal itu atau apapun yang dapat menghubungkanku. Mengertilah, oke?"

Menerima tatapan sedih Dashiell membuat Eloise melunak sehingga akhirnya ia menganggukkan kepalanya mengalah. Meskipun dulu ia masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi pada Dashiell dan keluarga mereka, namun Eloise masih mengingat jelas perasaan hancur yang mereka rasakan dan siapa dalang dibalik semua itu.

Tahu bahwa akhirnya Eloise mengalah, Dashiell pun bangkit berdiri dan menempelkan bibirnya pada kening gadis itu selama beberapa saat, menunjukkan pada Eloise rasa terimakasih atas pengertiannya dan betapa ia disayangi oleh kakak laki-lakinya.

"Thanks," gumam Dashiell sambil berjalan kembali ke tempat duduknya.

"Omong-omong, apakah kau akan pergi ke acara pernikahan Nadine sendirian?"

Pertanyaan tersebut kembali mengingatkan Dashiell akan alasan kenapa suasana hatinya menjadi buruk hari ini. Akhir minggu ini adalah acara pernikahan sahabatnya, Nadine. Dan bukan, wanita itu bukan alasan suasana hatinya menjadi buruk melainkan kenyataan bahwa Alethea belum mengabarinya padahal Dashiell memiliki rencana khusus untuk membawa wanita itu ke acara tersebut.

Sayangnya, waktu satu minggunya berakhir hari ini dan Alethea sama sekali belum menghubunginya. Alhasil, mood Dashiell terjun ke titik terendah.

"Ya, kurasa begitu. Kenapa?"

"Tidak, hanya penasaran."

"Aku pernah mengatakan bahwa tidak ada apa-apa antara aku dan Nadine. Jadi, jangan berpikir macam-macam."

"Aku tidak mengatakan apa-apa, Kak."

"Tapi matamu mengatakan semuanya, El."

Eloise hanya menyengir menanggapi dan Dasheill tahu bahwa adiknya tidak mempercayainya. Tidak peduli berapa kali ia berusaha menjelaskan hubungannya dengan Nadine, bahwa di antara mereka tidak pernah terjadi apa-apa, Eloise selalu memandangnya dengan tatapan skeptikal.

Long Ride Home [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now