2. Bebas

213 10 0
                                    

Matahari pagi rupanya tidak mengizinkan Soledad untuk terus terlelap dalam tidur. Dari sela-sela kaca jendela yang tak sempurna tertutup tirai cokelat, cahaya sang surya memasuki kamar yang temaram. Garis lurus sinar mentari menerpa sebagian wajahnya yang cantik. Gadis itu terbangun. Matanya terbuka perlahan, lalu dia menatap benda bulat berwarna keemasan dengan sederat angka penunjuk waktu yang menempel di di atas pintu kamarnya. Pukul tujuh pagi.

Hari kedua sejak kejadian malam itu. Kemarin, setelah kedatangan Zora yang menemaninya di unit apartemen selama empat jam, Soledad mulai merasakan tubuhnya lebih enak dan ringan. Mungkin pengaruh obat dan vitamin yang dikonsumsinya. Saat siang menjelang, Zora juga memasak dengan bahan-bahan yang tersedia di kulkas. Beruntung, beberapa hari sebelumnya Soledad sempat mampir ke minimarket yang ada di lantai bawah gedung apartemen.

Walaupun dia sendiri jarang masak di apartemen karena harus segera ke kelab malam, gadis itu tetap mengisi lemari es dengan berbagai makanan dan juga bahan masakan. Sewaktu-waktu dia bisa meraciknya di kala senggang. Kadang-kadang temannya datang berkunjung dan bosan dengan makanan yang dipesan lewat aplikasi online.

Bagi Soledad, Zora Grizelle, gadis bermata sipit dengan kulit bening sehalus  pualam khas wajah peranakan yang selalu ada saat dibutuhkan bagaikan saudara dekat tanpa ikatan darah. Mereka seperti botol dan penutupnya atau sepasang sepatu yang saling melengkapi walaupun banyak perbedaan di antara keduanya.

Sebuah pertemuan yang tak disengaja menjadi benang pengikat di antara mereka. Kedekatan yang diatur Tuhan dalam ranah takdir. Tidak ada yang mengira, Soledad si gadis pribumi bisa berjumpa dengan Zora yang terlihat memiliki ekslusivitas dalam  batasan pergaulan. Soledad sangat beruntung memiliki Zora di belantara Jakarta ini. Hanya dia yang paling mengerti saat ini. Perempuan langsing penyuka gaun selutut itu bagai bidadari tak bersayapnya.

Tanpa sadar, Soledad tersenyum saat mengingat gadis berambut sebahu itu. Zora tidak seperti bayangan orang-orang yang tidak mengenalnya. Dia memang keturunan Cina tulen, tetapi hati dan jiwanya sangat Indonesia. Zora menyukai makanan asli negeri ini. Lidahnya terbiasa dengan gudeg, liwet, sambal terasi, bahkan lalapan khas masyarakat Sunda pun tak pernah lewat begitu saja.

Tak hanya itu, sebagian besar aksesori penampilan yang dimilikinya dan ornamen pengisi rumah merupakan hasil perburuan dari ujung barat Sumatera hingga ke ujung timur Papua. Bahkan, untuk urusan pendidikan, Zora lebih memilih kuliah di Jakarta saat papanya menawarkan gadis itu belajar ke Jerman.

Usia Zora memang tidak jauh dengannya, hanya terpaut setahun, tetapi Soledad dan gadis sipit itu memiliki garis hidup yang sangat berlawanan, bagaikan langit dan bumi. Sebuah kenyataan yang membuatnya sedih sekaligus senang. Sedih karena apa yang ada dalam kehidupan Zora adalah angan-angannya sejak dulu, bahagia karena gadis itu ternyata memiliki hati yang baik dan mau berteman dengan dirinya.

Terdengar alunan musik klasik milik Mozart menyadarkan Soledad akan dunia nyata. Gadis itu menoleh ke  arah asal suara. Sebuah smartphone yang dibelinya sebulan lalu berdering dan mengantarkan satu panggilan yang harus diterimanya. Panggilan yang tidak boleh dilewatkan, bahkan harus diterima walaupun dalam keadaan terkantuk-kantuk di malam buta.

"Hello Darling. Apa kabar? Jangan lupa dong, Sayang. Ada kerjaan yang selalu menanti. Ingat fulus!" Suara kenes seseorang dari ujung ponsel  yang kerap membuatnya terhipnotis.

"Iya, Mami. Aku minta cuti dulu. Boleh ya? Beberapa hari, deh. Badan pada sakit, nih." Soledad mengurai rambutnya sambil berdiri dari tempat tidur.

"Oke. Boleh, boleh, Darling! Tapi jangan kelamaan, dong. Coba you treatment dulu deh, Darling! Biar tambah mulus you punya kulit. Modal utama itu, Sayang!"

"Iya deh, Mami. Sorean nanti lah. Sekarang masih pusing. Gila tuh Bos kakap. Badanku dibuat enggak berkutik." Terdengar suara terbahak-bahak di seberang sana.

"You seharusnya senang dong, Sayang! Yang penting fulus mengalir deras. Lumayan buat hidup sama kebutuhan pribadi. Enak 'kan kerja kayak gini?" Sebuah rayuan maut sang mami kembali mengudara.

Tawa Soledad berderai panjang. Entah bahagia atau hanya sekedar menimpali percakapan. Sesekali dia merajuk dan memuji perempuan paruh baya itu. Kemanjaan layaknya seorang putri kepada ibunya. Dia harus terlihat ceria dan antusias setiap Mami menghubunginya lewat ponsel. Bullshit! Baginya tidak ada yang penting. Hanya sekedar bagian dari proses hidup agar tetap bisa bertahan dalam bisnis ini. Mami harus disenangkan hatinya!

****

Sore menjelang. Soledad baru saja selesai mandi. Badannya sudah benar-benar fit. Sambil berdendang salah satu lagu milik BCL, dia mulai membuka pintu lemari kayu berwarna putih di samping tempat tidur. Gadis cantik itu tampak memesona, meskipun dalam balutan piyama polos dengan rambut terbungkus handuk.

Setelan outfit dipilihnya dari tumpukan baju. Satu atasan berbahan kaos rajut model lengan batwing warna pastel menjadi pilihan Soledad. Celana jeans warna tua membungkus kaki jenjangnya yang mulus. Padu padan yang sederhana, tetapi tetap cantik. Sepasang sepatu sneakers siap menemani langkahnya.

Tak hanya itu. Soledad sengaja terlihat minimalis untuk riasan sederhana di wajahnya. Sedikit foundation dan bedak tabur. Lipstik nude warna bibir menjadi pilihannya kali ini. Bentuk alis dan bulu mata pun dipertegas dengan sedikit maskara. Sempurna! Soledad tersenyum di depan cermin. Orang lain tidak akan menyangkanya memiliki pekerjaan sebagai PSK jika melihat tampilannya saat ini. Wajah imut nyaris tanpa kosmetik. Seperti gadis muda yang manja anak keluarga kaya di Jakarta.

Gadis itu tersenyum manis kembali memandang diri dalam cermin. Tubuhnya berputar melihat bagian belakang. Rambut panjang  ikal mayang sengaja digerai. Sepasang kaca berangka berwarna hitam membingkai mata indah. Tas selempang warna hitam bermotif sakura disambar, tak lupa dompet dan ponsel pun masuk ke dalamnya. Setelah dia yakin semua yang penting sudah ada dalam tas, dia segera keluar dari pintu apartemen dan menguncinya.

Gadis itu berjalan di lorong menuju lift yang ada di ujung. Kaki jenjangnya menapaki lantai dengan lincah. Hatinya terasa ringan dan berbunga-bunga. Entah kenapa hari ini beban yang menggelayut seolah menguap bersama awan. Seorang tetangga yang tinggal dengan keluarga anaknya baru saja keluar dari salah satu unit apartemennya di lantai delapan menatap Soledad, lalu tersenyum. Gadis itu pun membalas.

"Hai, Sole, selamat sore!" Sapaan  hangat keluar dari bibir wanita tua dengan badan cukup gemuk.

"Sore juga, Oma Rima! Apa kabar?" Soledad membalas sapaan dengan ramah.

Perempuan yang disebut Oma Rima itu tersenyum dan mengangkat jempol. "Mau kuliah atau baru pulang kuliah, Sayang?"

Soledad tampak salah tingkah. Wajahnya sedikit berubah. Namun, dengan cepat dia menguasai keadaannya. Matanya sengaja dilebarkan dengan bibir mengerucut. Perempuan tua itu terkekeh melihat ekspresi Soledad. Oma Rima tahunya Soledad adalah mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta terkenal di Jakarta.

"Iya, nih, Oma. Tadi siang udah pulang. Sekarang mau pergi lagi nyari makan. Sekalian mau ke salon juga. Udah lama enggak perawatan wajah.  Dah, Oma!"

Tanpa menunggu jawaban sang tetangga, Soledad segera melesat pergi. Dadanya berdebar-debar. Oma Rima kembali tersenyum dan menatap gadis itu sebelum masuk ke dalam apartemennya.

Beruntung, lift terbuka saat Soledad sampai di depan pintu. Tidak banyak pengisi ruang kotak pengangkut itu. Hanya ada tiga orang saja ditambah dirinya. Tak lama kemudian lift membawa turun hingga ke lantai dasar. Gadis itu melangkah keluar. Seorang laki-laki tegap berseragam tersenyum lebar melihat Soledad melintas dan kepalanya mengangguk saat gadis itu menatap dengan ramah. Tanpa ada kata-kata.

*** Bersambung ***

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Where stories live. Discover now