Secret Keeper

106 5 0
                                    

"Vie, lo dengar nggak, sih?" aku terperanjat mendengar bentakan Naya.

"Gue udah bilang ke Ezra kalau gue setuju," Naya menatapku dengan pandangan heran, mungkin dia menyadarai raut wajahku yang berubah, "lo ngapa?"

"Nggak, Cuma, mmm..." aku tak tahu harus mulai dari mana menceritakan perasaanku.

"I know you, darling," Ucap Naya seraya membimbingku menuju sofa, kantuk kami sepertinya pergi entah kemana. Naya kemudian berjalan ke lemari pendingin dan mengambil dua kaleng kopi instan untuk kami. Naya menyerahkan kaleng minumanku, sensasi dinginnya menjalar membuat telapak tanganku sedikit kaku.

Naya meletakkan minumannya di meja dan melipat tangannya, "Nah, apa yang lo sembunyiin dari gue?" bibirnya tertarik ke atas sebelum menyambar kaleng minumannya.

Ah, dari dulu aku memang tak pernah bisa menyembunyikan apapun dari Naya. Dia selalu tahu apa yang sedang kusembunyikan atau yang ingin kusampaikan padanya.

"Gue udah cerita hal yang paling rahasia, gue tau lo juga pengen cerita, c'mon Vie," Naya menggeser duduknya ke dekatku. Senyumku kecut, aku gak bisa membayangkan bagaimana reaksi Naya nanti setelah mendengar ceritaku.

"Aku takut setelah mendengar ceritaku, Lo bakal nganggap lebay, norak atau sejenisnya Nay," Naya langsung menjitak kepalaku dengan sebelah tangannya yang bebas sebelum aku sempat kelar bicara. Aku terperanjat tapi juga ikut tertawa bersamanya. Persis seperti masa kuliah dulu. Naya yang yang tangguh tak pernah menganggap masalah aku, Farah dan Ghie sebagai masalah karena dia memiliki seribu solusi untuk setiap masalah kami. Dia memang teman yang bisa diandalkan.

"Lo kenapa, sih? Biasanya nyosor aja kalau ada yang nggak mengenakkan hati, tumben kali ini lo kalem." Naya meraih jemariku seakan memberikan kekuatan, kubuang napas pelan.

"Ini tentang Gilang, Nay," Aku tak bisa menahan lagi. Naya mengirimkan isyarat lewat matanya dan aku melanjutkan, "Gilang berubah belakangan ini."

"Okeee..." Naya menyahut pelan.

"Dia makin perhatian sama aku dan anak-anak, setiap ada kesempatan dia pasti usahakan jadi quality time, perhatiannya pada hal-hal kecil yang menyangkut diriku juga lebih dari biasanya." Naya menyesap kopinya dan berusaha mendengarkan dengan seksama. Meski ada kilatan bingung di matanya, dia tidak mau menyela dan memberiku kesempatan untuk menyelesaikan.

"Masalahnya adalah belakangan ini dia tak lagi punya waktu untuk kami. Kalaupun ada waktu luang pasti kami habiskan di rumah. Gilang memberikan kritikan padaku dan anak-anak yang katanya adalah bentuk perhatian tapi bagiku seperti tuntutan yang malah mengarah pada pengekangan kebebasanku dalam mengelola rumah dan anak-anak. Kamu tahu, dia sewot berhari-hari hanya karena tidak suka dengan warna cat dinding kama," aku menatap Naya, "itu bukan Gilang, Nay," kuangkat tangan saat melihat Naya ingin menyela. Dia memajukan bibirnya tanda protes namun tak kuhiraukan. Aku suka melihatnya penasaran. Pasti sakit sekali rasa Naya menahan muntahan pertanyaannya.

"Selama kami bersama aku yang mengurus semua detil tentang diri Gilang tapi mulai bulan lalu dia mencari aroma parfumnya sendiri, memborong banyak kemeja dengan dominasi warna peach." Mata Naya melotot saking tak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Satu pertanyaan, no pernyataan" ucapku dengan isyarat jari telunjuk dan bahu Naya langsung melorot.

"Sejak kapan persisnya?" mungkin itu pertanyaan paling penting menurutnya atau juga karena dia bingung mau bertanya apa.

"Sejak tiga bulan lalu."

Wajar Naya bertanya sejak kapan Gilang berubah karena pastinya dia tidak menyangka ada yang tidak beres diantara kami. Perubahan Gilang tidak akan disadari orang yang jarang berinteraksi dengannya.

"Kamu kenal Rina, staf di kantor Gilang?" Naya mengangguk cepat, "Dia itu downlinerku, jadi kami akrab. Rina wanita yang baik dan rajin. Dari dia aku tahu rutinitas Gilang di kantor. Aku sering meneleponnya untuk menanyakan kegiatan penting Gilang ketika Gilang tak menjawab panggilan teleponku. Dari dia juga aku tahu belakangan ini Gilang sering makan siang di luar dengan staf barunya.

"Lo mata-matain suami sendiri? aku mengangkat bahu, "nggak sih, kebetulan aja belakangan ini setiap jam makan siang Gilang nggak bisa dihubungi dan saat kutanyakan pada Rina, dia selalu bilang kalau Gilang dan stafnya itu sedang keluar untuk makan siang."

Aku ingat saat bertanya pada Gilang tentang rutinitas makan siang di luar bersama staf barunya, gilang dengan entengnya menjelaskan kalau itu hal yang biasa. Dia mengajak stafnya makan siang karena pembicaraan tentang pekerjaan belum tuntas dibahas

"Aku bingung Nay, dulu Gilang juga punya staf tapi nggak pernah tuh bahas masalah pekerjaan sambil makan siang sesering itu," aku mengingat-ingat.

"Menurut gue, lo berbaik sangka aja sama Gilang, mungkin karena jabatan barunya sebagai HRD ini dia jadi lebih sibuk dan memikul tanggung jawab lebih dari sebelumnya. Lagian, dia juga nggak berubah sama lo, malah kayak lo bilang tadi dia makin perhatian sampek ke hal-hal kecil. Ya kan?"

"Iya, sih. Tapi Gilang jadi makin cerewet, Nay, masak warna cat saja bikin dia sewot berhari-hari padahal cat dinding itu udah hampir setahun dan dia fine-fine aja sebelumnya," Naya teryawa mendengar keluhanku.

"Tuh kan, mulai deh, lo pasti mikir aku norak, lo ngejek?"

"Nggak Vie sayang, aku ngerti kok. Wajar kamu bingung dengan perubahan Gilang tapi menurutku kamu nggak perlu khawatir, itu hanya reaksi Gilang terhadap tanggung jawab barunya di kantor. Mungkin dia terlalu banyak dituntut dalam pekerjaannya sehingga dia balik menuntut kamu di rumah, ya kan?"

"Gitu, ya? Tapi belakangan ini dia juga sering keluar malam buat hang out sama temannya, hampir tiap malam malah," Aku menjelaskan perubahan Gilang yang lain.

"Suasana kantor itu membosankan, Vie. Laki-laki perlu pengalihan untuk menghilangkan kebosanannya, salah satunya ngumpul bareng teman. Udah ah, sejauh ini aku rasa itu bukan masalah. Lo nggak usah ambil pusing, nikmatin aja perhatian Gilang ke lo yang tumpah berlimpah itu." Mau tak mau aku tertawa juga mendengar kalimat Naya, "anggap saja itu bukan tuntutan yang berlebihan?" Naya mengacungkan dua jempol, "Istri pintar".

Rasa kantuk menyerang tiba-tiba, mungkin karena aku sudah mencurahkan kegalauanku meskipun ganjalan masih ada, tapi aku sudah cukup lega. Angin di luar masuk melalui satu jendela yang sengaja tidak kami tutup tiupannya diiringi suara debur ombak menjadi irama yang semakin membuatku terkantuk.

"Thanks sarannya Nay, Aku jadi lebih lega sekarang." Kutatap Naya yang sedang menahan kuapnya.

"Jadi, apa yang paling lo inginkan sekarang?" Naya berdiri dari tempat dia duduk dan mengambil ancang-ancang.

"Persis seperti yang lo inginkan," aku mendahuluinya berlari dan melompat ke atas tempat tidur. Kami berdebat tentang siapa yang akan menutup jendela, persis seperti dua anak kecil yang rebutan boneka tidur kesayangan.

MARRIAGE BLUESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang