If Only

78 7 1
                                    

Ezra mengulurkan tangan dan membuka pintu mobilnya. OK, let's do this, ucapku dalam hati.

"Susah ya masuknya? Sorry, mobilnya tinggi." Ezra tersenyum jahil saat melihatku agak kesulitan naik ke mobilnya yang memang agak tinggi bagi diriku yang mungil ini.

Setelah berhasil duduk manis dan memangku segala tas tangan juga laptopku, barulah aku menoleh pada Ezra, "Bukan salah mobilnya, salah yang numpang terlalu kurcaci."

Ezra tergelak mendengar jawabanku. Dibandingkan Ezra yang berbadan cukup tinggi, sekitar 175 cm, aku memang tergolong kurcaci. Ezra juga dulu sering menjadikan hal itu sebagai bahan ejekan. Ah, kenapa pikiranku kembali pada masa lalu saat aku bersamanya?

"Suami kamu tinggi, gak? Kan dulu kamu pacaran sama aku supaya memperbaiki keturunan?" ucapan Ezra membuyarkan kembaraku pada masa lalu. Rupanya dia juga berpikir hal yang sama denganku.

Aku mengangguk, "Syukurlah dapat yang tinggi juga. Syukur juga anakku ikut bapaknya jadi dia tinggi, gak kayak emaknya."

Ezra terkekeh pelan. Mobil pun bergerak perlahan menuju pintu keluar. Padahal sudah lewat jam enam malam, tapi antrian mobil masih ramai saja. Alunan musik menemani keheningan kami. Aku tiba-tiba bingung harus berkata apa.

"Kita tetap ke kafe sesuai rencana, atau kamu ada usulan tempat lain? Mungkin yang lebih dekat rumahmu jadi kamu gak pulang kemalaman," tanya Ezra, matanya melirikku yang duduk bagai tenggelam di antara tas, "eh, tas laptop kamu ditaruh di bangku belakang aja, daripada berat kamu pangku."

"Gak berat, kok," sanggahku tak enak. Kok berasa nyonyah saja, mau titip tas di bangku belakang, "rumah kamu di mana, sih? Biar kita bisa pergi ke tempat yang ada di tengah-tengah aja."

"Gapapa kok. Sini aku bantu." Ezra mengulurkan tangannya menarik tas laptopku. Kami memang masih mengantri keluar dari gerbang parkir jadi Ezra bisa melepaskan pegangannya dari setir mobil, "udah kecil, ketumpuk tas gitu. Makin kecil ntar kamu."

Aku tersenyum simpul dan membiarkan Ezra mengambil tas laptopku lalu meletakkannya di bangku belakang. Rasanya, hanya Ezra yang menganggapku kecil. Abi sudah beberapa kali menyinggungku yang belum juga kembali ke berat badan semula seperti sebelum hamil dulu. Memang ketika aku hamil Kyra, aku naik berat badan hingga delapan belas kilogram. Masih ada beberapa kilogram lagi yang tersisa dan belum berhasil aku enyahkan, padahal Kyra sudah berumur empat tahun.

"Rumahku di Depok, cuma gampanglah mau di mana juga, gak perlu cari yang di tengah-tengah. Kamu aja enaknya di mana, gak usah mikirin aku." Perkataan Ezra sungguh membuatku teringat akan masa saat aku bersamanya. Dulu dia selalu mendahulukan kebutuhan dan kenyamananku. Ah, baru saja kami bertemu tapi sudah membuatku teringat masa lalu terus.

"Ya sudah, aku tahu ada tempat oke yang searah dengan rumahku. Ya gak deket banget sama rumahku, sih, tapi lumayanlah. Kalau dekat rumahku banget, gak ada tempat enak untuk ngobrol. Putar balik di depan, nanti kuarahkan."

***

Ezra menyesap minumannya sebelum bertanya, "jadi gimana menurut kamu?"

Aku memandang Ezra sembari berpikir. Ezra baru saja menjabarkan kebutuhannya dan juga kompensasi yang bisa aku dapatkan jika aku mengambil pekerjaan yang ia tawarkan. Secara keseluruhan, proyek ini tidak terlalu sulit dan memiliki bayaran yang sangat memadai. Hal yang lebih penting lagi, pekerjaan ini berbeda dengan pekerjaanku di kantor sehingga aku tidak akan terjerat kode etik karena mengerjakan pekerjaan yang sama dengan di kantor.

MARRIAGE BLUESWhere stories live. Discover now