3 - A Failure

17 4 1
                                    

Trik untuk sukses di dunia make-up artist (MUA) bukan tepat waktu, melainkan cepat waktu. Misalnya, saat ada janji dengan klien (biasanya keluarga mempelai wanita), sebaiknya datang satu jam lebih awal. Karena selalu ada saja kejadian yang membuat rencana mundur satu atau dua jam. Dengan hadir lebih awal, bisa cukup memberi jeda waktu untuk sekadar minum ekstra satu cangkir kopi atau ikut menikmati suasana tempat pesta. 

Putri selalu dibuat keheranan, orang rela mengeluarkan banyak biaya untuk sebuah pesta pernikahan. Padahal kehidupan setelah hari pengesahan pernikahan itu lebih penting. Uang yang dipakai untuk biaya ini itu, seharusnya bisa untuk membeli rumah atau modal usaha yang notabene akan punya masa guna lebih panjang dibanding biaya pesta selama setengah hari, begitu menurutnya.

Pagi itu sebelum matahari terbit, Putri dan Lanya sudah hadir di Gedung Persada. Dekorasi panggung sudah terpasang rapi, nuansa nila menjadi temanya. Di sudut lain, meja prasmanan sedang ditata, lampu dan perlengkapan tata suara sedang dites. Beginilah kisah para pekerja yang mendapatkan percikan rezeki dari keluarga mempelai di hari bahagia mereka.

"Lan, jangan lupa nanti mempelai difoto before-after, ya."

"Siap, Put." Lanya mengeluarkan Canon 5D Mark II dari tas, mengecek baterai dan pengaturannya. "Kamera siap. Kamera cadangan, siap juga. Mana nih pengantinnya? Tumben telat."

"Bukan mereka yang telat, tapi kita yang kerajinan," sanggah Putri. 

Kedua perempuan itu melihat ke sekeliling, belum ada satupun pihak keluarga yang datang. Rencananya akad akan dimulai pukul sepuluh pagi. Mereka masuk ke ruang rias pengantin, tidak jauh dari panggung pelaminan. 

"Aku keliling, cari candid dulu," pamit Lanya. Dia langsung pergi tanpa menunggu persetujuan sahabatnya.

Putri menggelung rambut ikalnya ke puncak kepala, mengeluarkan peralatan dari kotak dan mengaturnya di meja. Sesekali dia melirik iPhone 8 lungsuran dari Lanya, berharap ada kabar dari Tyas. Sudah dua minggu, Putri belum bisa menghubungi Tyas. Pesan dafi Putri untuk Tyas hanya dibaca, tidak dibalas. Tyas juga belum pernah mampir ke ruko lagi. Padahal biasanya dia menginap, setidaknya dua minggu sekali di akhir pekan.

"Yas, kamu baik-baik aja kan?" bisik Putri seperti pada dirinya sendiri. Kekhawatiran ini begitu menyesakkan dada, membuat Putri menghela napas berkali-kali. Dia melirik jam tangannya, masih ada waktu setengah jam, sebaiknya dia ke toilet dulu. Jangan sampai pipis di celana saat nanti sibuk mendandani mempelai.

Gedung Persada berukuran sedang. Biasanya keluarga kelas menengah akan memilih tempat ini untuk resepsi pernikahan, karena lokasinya yang mudah dijangkau, juga bentuk ruangan yang fleksibel. Panggung pelaminan bisa diletakkan di sudut manapun sesuai selera. Pintu besar terbuka ke area rumput di samping gedung, sehingga bisa menampung lebih banyak tamu undangan. Jamuan makan bisa diatur di dalam ruangan atau di luar. 

Putri celingukan mencari lokasi kamar kecil. Biasanya tidak jauh dari ruangan rias, tapi kali ini lokasi rias berada di samping pos jaga. Seorang lelaki berjas hitam sedang menunduk mengamati layar di balik meja.

"Ehm, permisi, Pak."

Lelaki itu menegakkan badan. Dia masih muda. Putri canggung sudah memanggilnya dengan sebutan "Bapak". Tubuh atletisnya menjulang. Kalau dia melompat, dijamin kepala berambut cokelat keemasannya akan menyentuh langit-langit pos jaga. 

"Ehm, boleh tahu kalau kamar kecilnya di mana, ya?"

"Nggak tahu. Saya nggak kerja di sini," jawabnya dingin. Mata lelaki itu berwarna keabuan, bulu matanya lentik, Putri sampai minder melihatnya.

"Oh, maaf," ucap Putri pelan.

Seorang bapak berseragam cokelat tergopoh menghampiri mereka, label "SATPAM" tertempel di dada kirinya. "Oh, gimana Mas, ketemu yang dicari? Maaf saya kebelet jadi nggak bisa nemenin."

LuvoscopyWhere stories live. Discover now