5. First Light

19 5 0
                                    


Putri dan Lanya mengambil tempat duduk di dekat pintu masuk restoran, berharap bisa melihat jelas saat target penyelidikan datang. Putri geli sendiri dengan istilah yang sahabatnya gunakan. Kesannya mereka penyidik sungguhan, padahal hanya amatir yang belum ada pengalaman. 

Setelah satu set paket makan siang selesai mereka santap, lelaki kurus yang tampangnya terekam dalam foto candid Lanya, memasuki restoran. Kaki panjangnya mengayun penuh percaya diri, berjalan menuju kasir untuk memesan makanan. Lanya mengeluarkan kamera mini yang hanya seukuran telapak tangan. Kalau tidak diperhatikan dengan seksama, kamera warna hitam  itu terlihat seperti tempat kacamata baca, milik kakek toko kelontong sebelah ruko Putri.

“Ssst, itu dia,” bisik Lanya, merundukkan kepalanya agar terhalang sandaran kursi kayu. Meski kemudian mengintip dari celah di antara dua kursi.

“Nggak perlu sembunyi juga kali, Lan. Memangnya dia kenal kita?” Putri terkekeh geli. Dia menengok ke kanan dan kiri, menduga pengunjung lain malah akan menyadari kejanggalan sikap mereka. Putri membuka album foto di ponselnya, mengamati kembali dua insan dalam foto. Sepertinya Lanya benar, lelaki itu mantan calon menantu Ibu Husni.

“Siapin apps perekam suara, Put.”

“Apa nggak mendingan ambil video aja? Kalau cuma rekaman suara, mana kuat dijadikan bukti, soalnya wajahnya nggak kelihatan.”

“Neruga.”

“Hah?”

“Bener juga.” 

Putri menggeleng heran, sahabatnya itu selalu punya perbendaharaan kosa kata yang tidak dia mengerti. Kadang, rasanya Lanya bukan berasal dari planet bumi. Namun, hal-hal kecil seperti itu bisa mencerahkan hari-harinya.

Dari kursinya, Putri bisa melihat calon menantu Ibu Husni sedang membayar pesanan. Lanya sudah memperingatkan Putri untuk bersiap pindah tempat duduk ke dekat meja yang dipilih lelaki itu. 

“Ayo, pindah, Put. Dia milih duduk di pojokan deket toilet.” Lanya melesat meninggalkan sahabatnya, mengambil tempat duduk membelakangi orang itu. Berbekal ponsel di satu tangan, Putri menenteng tas selempang di tangan yang lain, bersiap menyusul Lanya. Baru saja menggerakkan satu kaki hendak bangkit dari duduk, sebuah tungkai bercelana hitam terantuk kakinya. Si pemilik tungkai terjajar beberapa langkah ke depan. Kalau saja tidak ada mas pegawai restoran yang sedang membereskan meja sebelah dan menahan laju gerakannya, pastilah orang itu sudah terjerembap.

“Maaf,” ucap Putri spontan, melesat menuju tempat Lanya berada. Dia tidak mengindahkan suara kesal lelaki pemilik kaki yang mengumpat dengan kata-kata kasar.

Tidak lama, seorang perempuan dengan potongan rambut bob nungging, mendatangi calon menantu Ibu Husni. Lanya sibuk memberikan kode pada Putri untuk berpura-pura mengambil swafoto, padahal kamera diarahkan ke meja di balik kursi mereka. 

“Mas,” sapa perempuan itu manja. Kira-kira dia seusia Tyas. Ah, Putri jadi ingat adik yang beberapa minggu ini putus kontak dengannya. “Aku nggak bisa lama-lama ya, Mas. Bosku lagi uring-uringan.”

“Makan dulu.”

Perempuan itu membuka bungkus burgernya. “Aku bisa gendut nih, tiap hari makan burger.”

“Mas janji, lain kali kita makan di tempat yang lebih bagus, bukan di restoran cepat saji kayak begini.”

“Mas menang lotere? Akhir-akhir ini royal banget sama Poppy.” 

“Apa sih yang nggak buat kamu, Sayang? Kan, kesuksesan Mas juga berkat bantuan kamu.”

“Aku kan cuma minjamin berkas meeting di Persada, memangnya berguna?”

LuvoscopyWhere stories live. Discover now