1. Upaya yang Selalu Gagal

6K 1K 1.1K
                                    

Happy reading!

---

"Ini sekolahnya, Bu?" Itu adalah pertanyaan yang kali pertama keluar dari bibir Salma ketika matanya menangkap sebuah sekolah yang berdiri di depannya. Tulisan SMA Bakti Jaya tertulis di sebuah plang berkarat dengan tulisan setengah memudar. Tepat di bawah tulisan SMA itu terdapat coretan dari piloks berupa alat kelamin. Salma hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.

"Saya kan udah bilang, Nduk, jangan berekspektasi lebih sama sekolahnya. Mari masuk." Bu Darmi, wanita paruh baya itu membenarkan letak jilbabnya yang sedikit mencong ke kanan. Lalu melangkah turun dari mobil Brio milik Salma.

Bukan tanpa alasan mengapa pagi itu Salma berdiri di depan SMA Bakti Jaya. Satu minggu lalu, Bu Darmi yang berstatus sebagai Kepala Sekolah SMA Bakti Jaya datang ke rumahnya. Tentu saja apalagi penyebabnya kalau bukan untuk curhat. Semenjak menjadi seorang penulis, selalu saja ada tetangga datang, curhat panjang lebar, lalu ujung-ujungnya melontarkan pertanyaan, "kira-kira tertarik nggak nih jadiin cerita saya sebagai novel?" Salma hanya bisa meringis sambil berhehe ria.

Namun ada yang berbeda ketika Bu Darmi cerita hari itu. Biasanya dia orang super-ceria, sering sekali bagi-bagi makanan di kompleks. Dia bahkan rutin mengantarkan masakannya untuk Salma. Dan hari itu dia datang dengan wajah putus asa. Kemudian mengalirlah semua cerita dari bibirnya. Tentang SMA Bakti Jaya yang dibangun oleh ibunya, lalu turun ke suaminya, dan setelah ibu serta suaminya meninggal, mau tak mau sekolah itu jatuh ke tangannya.

Selama puluhan tahun sekolah itu berdiri, tak pernah ada masalah serius. Barulah di tangannya, sekolah itu goyah. Jumlah murid menurun setiap tahunnya. Tidak ada pemasukan bertambah yang menyebabkan fasilitas tidak dapat di-maintenance. Banyak fasilitas rusak tidak bisa diperbaiki. Melihat grafik itu, Dinas Pendidikan memutuskan untuk menutup permanen SMA Bakti Jaya terlebih dengan 100% siswa tidak lulus ujian di tahun kemarin. Alasan itu membuat Dinas Pendidikan merasa sekolah itu sudah tidak layak untuk berdiri.

"Terus, pemerintah memang nggak tahu tentang itu? Maksudku, sekolah banyak ngasih bantuan terutama di bidang pendidikan, ya dengan nyekolahin anak-anak dari kalangan bawah. Masa sih pemerintah nggak mau ngasih keringanan?" tanya Salma saat itu.

"Selama tiga tahun terakhir, mereka lihat nggak ada yang signifikan. Murid semakin sedikit, tahun kemarin bahkan seratus persen siswa ndak lulus. Tapi meskipun begitu, mereka kasih syarat kalau mau sekolah ini berdiri."

"Apa itu, Bu?"

"Waktu ujian nasional, semua anak harus lulus seratus persen. Tapi tetap aja menurut Ibu itu mustahil, Nduk."

"Kenapa mustahil, Bu?"

"Kita kekurangan guru, cuma ada 3 guru di sekolah, itu pun sudah tua. Ndak ada yang mau bekerja dengan gaji pas-pasan. Belum lagi muridnya bandel dan ndablek. Sekolah itu kan masih bisa berdiri karena Ibu mutar otak buat sewa kios di halaman sekolahnya supaya bisa ada pemasukan. Uangnya pas-pasan, Ibu ndak ada uang kalau mau tarik guru-guru muda."

Salma merasa tidak ada yang kebetulan di dunia, semua pasti sudah diatur. Termasuk jalannya Bu Darmi untuk bercerita kepadanya seperti sebuah gerbang pintu untuk Salma. Gerbang di mana dia bisa melihat sebuah dunia yang 180 derajat berbeda dari dunianya. Mungkin memang ini jalannya. Lagi pula dia butuh pengalaman baru untuk kembali menulis setelah dua tahun hiatus. "Kalau Ibu butuh tenaga anak muda untuk mengajar, aku bisa bantu, Bu."

Bu Darmi terkejut mendengarnya. "Ndak usah bercanda kamu, Nduk. Ibu cerita ini supaya hati Ibu lapang ... cuma kamu yang bisa dengar ceritanya dengan rasional. Kamu ndak usah bertanggungjawab sama solusinya, cukup dengerin aja."

"Salma nih serius, Bu."

"Beneran mau?"

Gadis berambut pendek itu mengangguk.

"Tapi anaknya aneh-aneh, lho. Ibu ndak yakin kamu bisa nanganinnya. Bukan karena nggak percaya sama kemampuan kamu, tapi anak-anaknya itu lho ... ndablek buanget!"

Salma terkekeh geli. "Yaaa kalau nggak dijalanin kan nggak akan tahu bakal jalan atau nggak kan, Bu?" Begitulah percakapan yang terjadi hingga hari ini Salma memutuskan datang sendiri ke SMA Bakti Jaya. Sepertinya percakapan Bu Darmi memang serius. Bahwa anak-anaknya memang ndableeeek!

"SINI KAMU RAJA. JUANCUUUK KAMU YA. SEKOLAH KOK KERJAANNYA BIKIN RUSUH. SINI KAMUU!!!!!!" Di depan mata Salma, terlihat seorang anak berpakaian urakan dengan baju tidak dikancingi bagian depannya. Tidak dimasukkan ke dalam celana. Begitu kencang larinya sampai bajunya jadi berkibar ke belakang seperti bendera pusaka. Memperlihatkan kaus singletnya yang kuning dan bolong-bolong. Bukannya berhenti, si anak malah terus berlarian, tak peduli guru lansia di belakangnya mengejar dengan napas ngos-ngosan serta penggaris kayu terangkat tinggi ke udara.

Salma melongok, merasa de'javu dengan pemandangan itu. Teringat akan seseorang.

"Itu baru permukaan, ke depannya akan ada hal yang jauh lebih ajaib dari ini. Gimana? Beneran udah siap, Nduk?"

****

"Den, kata gua sih mending lu stop deh nyariin gua jodoh." Nathan melemparkan bombernya dengan keras ke sofa sambil mengembuskan napas lewat mulut. Sudah lima kali dia mengikuti acara blind date dari Deni dan tidak ada satu pun yang sesuai. "Pertama, lu jodohin gua sama orang Depok. Asal lu tahu ya tuh cewek gua bonceng naik motor, ngesennya pake kaki. Padahal apa susahnya tinggal duduk doang kan gua bonceng?" balas Nathan menggebu-gebu.

Deni tertawa ngakak mendengarnya sampai bahunya berguncang. "Yah namanya juga pengalaman pertama, wajarlah kalau ada hal buruk."

"Blah, yang kedua, lu jodohin gua sama cewek namanya Melati. Lu tahu Den dari awal sampe akhir dia cerita apa?"

"Apaan?"

"Cerita mistis, nyeritain tentang Sunda Empire lah, katanya tangannya bisa keluar api. Terus dia bisa masuk ke alam gaib lah, berdiskusi sama kepala suku yang udah ninggal. Bilang kalo bumi ini udah tua lah. Lu bayangin Den, bingung nggak lo kalau jadi gua? Yang kocaknya lagi, jam 5 subuh dia telepon gua. Ya gua masih tidur, jam 10an dia chat gua katanya kita putus. Lah kocak, kapan jadiannya anjir." Wajah Nathan terlihat bete setengah mati sementara Deni hanya bisa tertawa.

"Terus yang hari ini gimana? Sukses dong? Dokter gigi loh."

"Gigi lu noh. Masih mahasiswa dia, terus ngajakin gua jadi kelinci percobaan dia. Disuruh cabut gigi. Ya gua kabur lah, gila aja. Dah sih Den, kata gua stop, lu hapus dah tinder-tinder itu. Bikin sendiri pake nama lu, jangan pake biodata gua." Nathan mengeluarkan rokoknya dan mengisap dalam-dalam. Berharap nikotin bisa membuatnya tenang.

"Ya kan gua mau lu nggak terus-terusan galau, Nath. Apa susahnya sih mencoba. Emang sih nggak ada cewek yang kayak Salma, tapi bukan berarti hidup lo berhenti di sini, Nath. Ada banyak cewek ngantri kok mau sama lo. Asal lo mau buka hati lo dikit aja." Deni ikut mengambil sebatang rokok, ikut mengisapnya sambil duduk di sebelah sahabatnya itu. Cuaca terlihat mendung. Mata keduanya memandang awan sembari terduduk di balkon rumah Nathan.

"Susah, Den. Cinta gua kayak habis di orang lama."

"Ah, itu mah istilah doang. Lu masih muda, Nath, perjalanan cinta lo masih panjang. People come and go, setiap orang kan ada batasnya. Mungkin jatah waktunya Salma udah habis. Sekarang saatnya lu nyari orang baru." Deni tersenyum. "Ngomong-ngomong lo sama Rebecca juga cocok."

"Ngawur lo."

"Lah? Dia juga sempat baper kan sama lu."

"Ya gua ganteng dan baik hati ini, cewek mana yang nggak baper."

"Tai Nath, pede lu nggak hilang-hilang." Deni geleng-geleng kepala. "Tapi bener deh, gua liat-liat, lu sama Rebecca tuh cocok. Percaya sama gua dah."

----

A/N:

Udah lama nggak nulis di Watppad, kasih semangat yaaaa, bantu votes dan komen. Jangan lupa promosiin okee? See you di part berikutnya!

WELCOME NATHANWhere stories live. Discover now