2. Perkenalan dengan SMA Bakti Jaya

5.3K 788 1.1K
                                    

Sebelum baca absen dulu dong, kalian baca ini jam berapa nih?

Selamat malam minggu, guys!

----


Salma melihat bangunan SMA Bakti Jaya. Sekolah itu tidak luas. Hanya satu lantai dengan lapangan kecil. Hanya ada lima kelas serta kantin di belakang. Bahkan tidak ada fasilitas yang dapat dibanggakan sebagaimana dulu waktu dia SMA, ada laboratorium IPA, laboratorium komputer, laboratorium bahasa Inggris, serta berbagai macam fasilitas lain sebagai pendukung kegiatan sekolah.

Di SMA Bakti Jaya hanya ada bangku dan meja yang sudah reyot, tidak cuma reyot, meja kayu itu juga jadi penyambung lidah siswanya terlihat dari banyaknya coretan di sana. Mulai dari umpatan, nama-nama guru sampai nomor hp. Gadis berambut pendek sebahu itu dibawa ke ruang guru. Terlihat atap sekolah di beberapa sudut bahkan sudah jebol plaponnya. Kalau ada puting beliung, mungkin sekolah itu bisa rata dengan tanah dalam satuan detik.

"Setiap tahunnya, Nduk yang mendaftar di sini semakin sedikit, tahun kemarin kelas 12 semuanya ndak lulus ujian, lalu kelas 11 ada 3 orang mengundurkan diri. Sekarang cuma sisa 5 orang lagi di kelas 10." Bu Darmi menjelaskan bagaimana akhirnya peminat sekolah semakin sedikit berawal dari keterbatasan biaya untuk mengurus akreditasi sekolah.

"Ya gimana ya, Nduk, biaya urus akreditasi itu kan ndak kecil, minimal siap uang 10 juta ... sedangkan SPP murid di sini saja sebulan cuma 100 ribu, ndak nutup. Belum lagi gaji guru, lalu biaya operasional sekolah. Kadang Ibu tuh merasa bersalah sama almarhum Bapak karena ndak bisa jaga amanahnya supaya sekolah ini berkelanjutan."

Salma terenyuh, dia tahu alasan terbesar Bu Darmi mempertahankan sekolah. Karena hanya itu satu-satunya harta yang membuatnya tersambung dengan orang tuanya, dengan suaminya, ada jerih payah mereka di sana. Bu Darmi tidak mempunyai anak, itu sebabnya dia akan menjaga sekuat tenaga apa yang harus dia jaga. Termasuk mempertahankan agar SMA Bakti Jaya tidak ditutup.

"Sebentar ya, Nduk ... saya sudah bilang ke guru-guru dan ada satu perwakilan ketua kelas mau datang ke sini. Kita rapat sebentar." Bu Darmi membuka pintu ruangannya. Tak lama tiga orang guru datang, satu pria paruh baya, sementara dua sisanya perempuan.

"Nggih Bu Darmi, ada apa? Ini siapa tho, keponakan?"

"Salma, kenalin ini Pak Wagino, beliau guru di sini sejak saya masih SMA."

"Ini Bu Trisna dan Bu Restu. Nah sebentar, saya panggil Nak Keegan dulu. Sini, Nak."

"Assalamualaikum Bu."

"Waalaikumsalam."

Salma melihat seorang anak remaja lelaki berambut klimis muncul di pintu. Sepertinya dia yang pakaiannya paling rapi dan paling normal di antara yang lainnya. Salma membaca nama yang terbordir di seragam bagian dada kirinya. Keegan Kaliandra.

"Begini, kita semua tahu masalah di sekolah ini, kecuali Keegan ... mungkin kamu baru dengar, beberapa hari lalu ada orang dari dinas pendidikan datang ke sini. Dia menyampaikan pengumuman kalau ada kemungkinan sekolah ini ditutup mengingat semakin berkurangnya murid serta kegagalan sekolah dalam meluluskan siswa selama dua tahun terakhir." Bu Darmi menghela napas. "Tapi mereka mau kasihkita kesempatan, sekolah tidak akan ditutup kalau semua siswa berhasil lulusseratus persen."

"Mustahil itu, Bu." Bu Trisna segera menyanggah.

"Lha iyo, ndak mungkin itu. Mengingat kualitas anak-anak kita aja kayak gimana."

"Mau sekolah saja syukur lho, Bu, kok ini dipaksa berprestasi."

"Yang ada mereka keluar dari sekolah." Pak Wagino menambahkan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 04 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

WELCOME NATHANWhere stories live. Discover now