2

554 77 3
                                    

The thing about Sagara is, he was... unassuming.

Bahkan, dari pertemuan pertama kami melalui aplikasi kencan daring, aku sama sekali nggak menyangka bahwa lelaki berambut legam nan panjang yang hanya memasang 1 foto di profilnya dan tidak menuliskan apa-apa lagi selain nama almamaternya (yang hey, ternyata juga merupakan almamaterku!) itu akan mengacak-ngacak hidupku sedemikian rupa.

Percakapan kami pun medioker, at best. Dibuka tentang bahasan mengenai spotify anthem yang kuletakkan di profilku, dan berlanjut mengenai satu-satunya mutual connection kami berdua—ya apa lagi kalau bukan almamater.

"Lo anak UI juga?" aku bertanya padanya.

"Yep." singkat. Padat. Jelas.

Aku menunggu hadirnya 1 lagi bubble chat yang menyusul jawabannya barusan, tapi nihil. Well, i guess it's my cue then.

"Fakultas?"

"Musuh fakultas lo" jawabnya.

Sebentuk tawa lolos keluar dari mulutku membaca jawabannya.

Tale as old as time. Aku merupakan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan semenjak maba kami selalu dicekoki cerita perseteruan antara fakultas kami dengan fakultas tetangga di rumpun ilmu yang bersebrangan. Sebenarnya 'perseteruan' yang dimaksud pun bukan yang terlalu serius atau gimana, hanya saja dalam ajang kompetisi olahraga tahunan yang dihelat kampusku, fakultasku nyaris selalu menjadi juara pertama kecuali sekali. Dan yang mengalahkan kami waktu itu adalah

"Teknik?" ketikku sambil terkekeh geli.

Nggak perlu waktu lama hingga balasan darinya masuk.

"Hahaha bener."

Percakapan kami pun berlanjut di seputar hal-hal ringan lainnya. Tentu saja, belum ada yang menginisiasi perpindahan platform alias aku dan dia masih saling bertukar cakap melalui fitur chat dari dating app tempat kami bertemu. And i don't mind really. I enjoy talking to him throughout the day, while i was at work, talking to my co-workers, exchanging messages with other guys on the said app—you know, no pressure, no expectation, whatsoever.

Just two strangers connected through the net, sharing the banality of their life.

Koneksi seperti itu berlangsung hingga beberapa hari sampai aku menyadari bahwa, diantara laki-laki lain yang menjadi teman bicaraku di aplikasi tersebut, hanya Sagara yang konstan melanjutkan percakapan. Beberapa menghilang ditengah-tengah, ujug-ujug meminta lebih, atau ya... simply doesn't connect as well as we do.

That is until today, at least.

"Eh, kantor lo di Kemang kan?" tanyanya.

Aku mengetikkan balasan secepat kilat kala notifikasi tersebut muncul di layar. "Yep. Kenapa?"

Satu menit. Dua menit. Balasan darinya tidak kunjung tiba.

Aku mengacuhkannya, berusaha kembali fokus pada artikel yang tengah kukerjakan saat ini.

Sepuluh menit berlalu, layar ponselku pun akhirnya menyala. Dan terkutuklah jantung ini, sempat-sempatnya dia melompat girang kala jemariku secepat kilat membuka notifikasi yang masuk darinya.

"Nongki yuk. Gue lagi di Kemang nih"

Begitu tulisnya.

Kedua mataku melebar, dan jantungku pun berdansa. Shit. Is it finally the time?!

Aku mengetukkan jemari di sisi ponsel sembari memikirkan jawaban yang tepat. Apakah aku harus langsung mengiyakan ajakannya? Do I want to? Apa yang akan terjadi jika kami akhirnya bertemu secara langsung? Will he back down? What expectation does he even have on the real me?

Kenapa aku jadi overthinking gini?

"Boleh" ketikku akhirnya.

Well, nothing to lose anyway. Jika setelah ini hubungan kami nggak berlanjut kemana-mana, then at least I know how he is in person. Jika ternyata lanjut ya... let's think about that later.

"Kelar kantor jam berapa?" begitu balasan yang masuk darinya.

Aku melirik ke arah desktop clock di laptop. Sekarang pukul 5 sore, dan jika artikel ini bisa kuselesaikan segera, aku mungkin bisa keluar kantor jam 6 paling cepat. 7 pm, tops.

"Around 7.30, is that okay?" jawabku.

Hey, a girl need to prepare too!

"Fine with me." ia membalas lagi. Tanpa sadar sebuah senyum terkembang di bibirku. "Inget coffee shop yang waktu itu gue bilang di Antasari itu gak? Ketemu di situ aja, how?"

Aku mengerenyit sedikit. "Nah man. Ain't no way gue lewat Antasari pas jam pulang kerja" tambahkan emoji perempuan yang sedang menyilangkan tangannya, and... send.

Balasan dari Sagara datang hanya dalam beberapa detik.

"Hahah, understandable. Aight then, you pick the place"

Aku menimbang-nimbang untuk beberapa saat. I could propose for a beer, tempatnya literally tinggal jalan kaki dari kantorku. Atau aku bisa mengajaknya makan di 'angkringan' ala-ala, which also yes, only a walk away from my office. Or maybe I could take him to that 24 hour dimsum place, for their xiao long bao and salted egg pao.

Wait, kenapa aku mikirnya lama banget ya, kayak lagi mikirin tempat kencan?

Was this... a date??

"Lo mau makan berat, minum-minum cantik, atau coffee and chill?" akhirnya aku melemparkan pilihan padanya.

"Coffee and chill sounds nice"

Ah, baiklah kalau begitu.

"Anomali, how?"

"Deal." jawabannya masuk hanya sepersekian detik setelah tawaranku terkirim.

Senyumku kembali melebar. "Aight. 7:30 at anomali, it is" tulisku dengan perasaan berbunga-bunga (jangan tanya kenapa)

"See you soon, i guess?"

"See you soon." balasku. Dan tepat sebelum aku meletakkan ponselku kembali ke meja, benakku mengingat sesuatu yang harus kusampaikan padanya sebelum pertemuan kami nanti.

"By the way, jangan kaget ya kalo nanti gue berantakan. Work's been tough lately, lol" begitu tulisku.

Sebuah 'disclaimer' mungkin, agar Sagara tidak terlalu tinggi meletakkan ekspektasinya terhadapku. Walaupun at this point mindset ku sudah nothing to lose banget, tapi entah kenapa aku tetap merasa perlu untuk memberinya aba-aba bahwa mungkin akan ada gap antara personaku di dunia maya dengan aku yang sesungguhnya.

And in a way, yes, I also don't want to disappoint him with how I actually looked like. Don't ask me why.

Menghela nafas panjang, aku pun meletakkan ponselku di atas meja, berusaha fokus kembali pada artikel yang harus kuselesaikan segera jika aku ingin keluar kantor sebelum jam setengah 8. Thank God, Ara ninggal catokannya di kantor, jadi setidaknya aku bisa membuat diriku terlihat sedikit lebih presentable sebelum bertemu dengan Sagara nanti.

A few minutes into writing my article, ponselku kembali menyala menampilkan notifikasi dari Sagara yang masuk via dating app.

Buru-buru aku membukanya dengan jantung yang kembali berdansa. Duh, norak banget deh. He's just a guy on the internet, what's so special about that.

Ketika pesannya telah terpampang di layar, jantungku yang tadinya hanya berdansa tipis-tipis kini bisa kurasakan semakin liar berkejaran mengabaikan temponya. Wajahku menghangat, dan senyumku—ah sudahlah, nggak usah diomongin. Udah kayak anak SMA baru kasmaran kayaknya aku sekarang.

Padahal, ah, yang ditulisnya hanya dua kata singkat tanpa ada apa-apa lagi setelahnya.

"Surprise me."

Maksudnya apa coba???

SagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang