3

115 16 2
                                    

"...Tapi lo pernah nggak sih bawa pacar lo gitu ke ortu lo? I mean, kalo gue—ini gue juga nggak tau kenapa ya, parents just seem to love talking to me. Well bapak-bapak, tepatnya... but still—"

Senyumnya manis banget...

Shit, Agni pull yourself together! Bangun lo perempuan bangun!

Aku menjentikkan LA Ice ku ke atas asbak sebelum mengikuti tawa Sagara yang berderai di hadapanku. Okay shit, I'm fucked—not in a literal sense, though, hell I wish—karena ternyata Sagara in real life... tidak seburuk itu.

Well, dia memang bukan Nicholas Saputra type of ganteng but he's... quite decent. Rambut legamnya yang panjang malam ini terikat longgar di belakang kepalanya, meninggalkan beberapa helai yang jatuh membingkai sisi wajahnya. Ia tinggi—damn he's tall, jika boleh kutebak mungkin tingginya sekitar 180an, way taller than me definitely. Sepasang piercing hitam menghiasi kedua telinganya. He also dressed himself quite nicely too, dengan sebuah hoodie hitam, jeans, dan converse abu-abu.

Tapi mau tau yang menjadi highlight ku malam ini? That smile, dan bagaimana senyum itu membawa matanya yang tajam berlindung dibalik kacamata berbingkai tipis terlengkung menjadi sepasang bulan sabit. His smile, though stained by a clear sign of nicotine addiction, is just simply... charming.

Okay, that's it, you're fucked woman.

"Funny thing," aku menghembuskan asap rokok saat akhirnya angkat bicara. "Gue cuma pernah pacaran 3 kali" ujarku sambil mengangkat tiga jari.

Sagara menaikkan alisnya, ekspresinya tampak tidak mempercayai statement ku barusan.

"Kenapa lo kayak gak percaya gitu" aku tergelak.

"Masa sih cuma tiga?" ia menjawabku dengan sebuah pertanyaan.

Aku tersenyum dan mengangguk. "Mm-hm. Pacaran as in 'pacaran' ya. Kalo yang rasa pacaran tapi gak ada statusnya sih..." aku membiarkan kalimatku menggantung.

Sagara terkekeh. "Ah... so you're that type" ujarnya menangkap apa yang kumaksud dengan cepat.

Aku menahan sebuah senyuman dan gantian mengangkat alis. "What type?"

"Nggak suka komitmen?" tebaknya dengan ekspresi yang... i don't know, mischevious?

"Well... commitment is a strong word" aku mengendikkan bahu. "I mean, relationship tuh butuh banyak energi gak sih buat di-maintain? Dan gue ngerasa kayak, energi gue gak sebanyak itu gitu. Gue berangkat ngantor pagi, kerja sibuk, pulang yaaa jam-jam segini lah. Kalo ketambahan punya, you know, 'pacar'—apalagi amit-amit dia clingy dan posesif... abis lah gue tepar" jelasku seraya menyeruput iced chocolate yang mulai kehilangan dinginnya.

"Mm, paham. Jadi itu kenapa lo main dating app?" Sagara kembali bertanya. "To find someone to—i don't know, hook up with? Talk to?"

"What, are you expecting a hook-up? Sama gue?" candaku dengan gelak tertahan.

Sagara tersenyum seraya menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum berujar. "Kalo iya, gimana?"

Nadanya kasual, begitupula bahasa tubuhnya kala pertanyaan itu bergulir keluar dari mulutnya. Tapi entah kenapa, caranya menatapku saat ini membuat sesuatu di dalam dadaku bergemuruh. Duh, nggak penting banget deh blushing-blushing di saat kayak gini.

"Hehe canda, Ni." Sagara buru-buru melanjutkan, sebelum aku sempat memberi tanggapan. "Gue bukan that kind of guy kok, tenang" ujarnya seolah berusaha meyakinkanku.

"Kalo lo that kind of guy yaaa juga nggak kenapa-kenapa sih sebenernya..." aku menjentikkan abu rokokku ke atas asbak. "Gue tinggal pura-pura ke toilet sekarang terus cabut ninggalin lo sendiri di sini" pungkasku dengan canda.

Tawa kembali berderai memenuhi meja kecil di sudut balkon kedai kopi ini.

Tanpa ada yang menyadari, obrolan-obrolan ringan kami terus mengalir hingga jam menunjukkan pukul 12 malam dan barista yang berjaga menghampiri kami untuk memberitahu bahwa sebentar lagi jam operasional mereka akan selesai. Time does fly when you're having fun with it, I guess.

Berbicara dengan Sagara, rasanya aku bisa melakukannya semalaman suntuk. Kami seperti nggak pernah kehabisan topik untuk dibahas dan diperdebatkan; satu topik selesai, topik lainnya muncul. Mengobrol dengan Sagara menstimulasi kepalaku like never before. There's just something about his wit that is just so... addicting.

"Balik naik apa lo, Ni?" Sagara bertanya seraya kami bangkit dari bangku untuk segera cabut dari coffeeshop ini.

"Ya gojek sih, I mean jam segini... apa lagi?" kekehku sambil membuka aplikasi ojek online untuk memesan kendaraan pulangku.

Sagara mengangguk. "Ooookay then."

"Lo? Naik apa balik?"

"Motoran tadi gue kesini" jawabnya santai.

"Oooh" aku mengangguk pelan. "Hati-hati begal—eh, lo balik kemana sih btw?"

"Bintaro. Lo?"

Aku meringis kecil sebelum menjawab. "Depok"

Sagara tampak terkejut beberapa saat sebelum melepaskan sebuah gelak ringan. "Anjir kalo gitu harusnya gue dong yang bilang hati-hati begal ke lo"

Aku tertawa. "Tenang, tenang. I'll manage. Udah biasa gue balik jam segini"

"Mm... anak malem..." Sagara tersenyum simpul.

Kami berdua berdiri bersisian di depan pintu masuk coffee shop hingga driver yang akan mengantarku pulang malam ini datang. Aku mengucapkan salam perpisahan pada Sagara seraya mengenakan helm yang diberikan oleh si abang ojol. Sebelum aku naik ke bangku penumpang, Sagara menyempatkan diri untuk mengangkat tangannya dan bertukar tos denganku.

"See you again next time... i guess?" ujarnya dengan sebuah senyuman penuh arti.

Aku tergelak. "Ya nanti berkabar aja" jawabku.

Mesin motor ojek online pun bergetar menyala. Perlahan aku dan si abang ojol bergerak menuju gerbang keluar pelataran ruko tempat coffee shop ini berada, meninggalkan Sagara yang juga akan segera pergi dengan motornya. Namun, tepat sebelum ia benar-benar hilang dari jarak pandang dan indra pendengaranku, aku bisa menangkap lelaki itu berseru

"Don't uninstall the app!"

Dan diantara deru angin malam yang dingin, aku pun melongok ke belakang untuk mendapatinya tersenyum dan melambai padaku.

"You too!"

SagaraWhere stories live. Discover now