5. Perubahan Rasa?

151 7 0
                                    

Nevan melirik Raisa yang sendari tadi diam saja. Gadis itu terus bergeming, dengan pandangan yang mengarah ke luar jendela mobil.

"Sa," panggil Nevan. "Udah nyampe rumah."

"Hah?"

"Udah nyampe, Sa."

Raisa tersadar dari lamunan. Ia menoleh kanan kiri, benar saja dia sudah berada di depan pagar rumahnya.

"Oh, iya. Yaudah kak kalo gitu, makasih ya buat hari ini."

Pergi ke festival itu membuat Raisa bahagia. Setidaknya melupakan sedikit masalahnya. Cuma, ternyata pertemuannya dengan Agra justru merusak segalanya.

Raisa menghela napas berat, segera turun dari mobil Nevan.

Nevan menurunkan kaca mobil, memandang Raisa yang kini sudah berdiri di depan pagar rumah. "Masuk rumah gih," katanya.

Raisa menggeleng. "Nungguin Kakak jalan dulu."

"Aku jalan kalo kamu udah masuk rumah."

"Aku masuk rumah kalo Kakak udah jalan."

Nevan mengangkat satu alis. "Yaudah kalo gitu. Aku jalan, kamu masuk rumah."

Raisa mengangguk. "Yaudah."

Keduanya beradu bertatap.

Hening.

Satu.

Dua.

Tiga.

"Ck. Kenapa enggak masuk rumah?" tanya Nevan berdecak setelah keduanya hanya berdiam di posisi masing-masing cukup lama.

Raisa nyengir. "Kak Nevan aja mobilnya enggak dihidupin tuh."

Kalo seperti ini, lama-lama Nevan bisa frustasi. Cowok itu pun segera menghidupkan mobilnya. Ia menoleh lagi ke Raisa. "Nih, udah nih. Aku hidupin. Sekarang masuk rumah sana."

Raisa tertawa pelan. "Oke-oke ...," katanya sambil membalikkan tubuh. Namun, sebelum melangkah gadis itu menoleh lagi ke arah Nevan.

"Kak muka kamu lucu banget sih haha."

Lantas setelah mengatakan hal itu Raisa dengan tanpa dosa berlari memasuki rumah.

Tak menghiraukan Nevan yang mengerjapkan pelan matanya.

Bersikap sok cool.

Padahal sebenarnya dia sudah ambyar.

• • • •

"WOYYYY! UDAH PADA SELESAI BELUM?!"

"JANGAN DIHAPUS DULU ANJIR!"

"Kurang dikit lagi!"

"EH! MINGGIR DONG, NGALANGIN TAU!"

Di tengah bisingnya kelas siang itu. Di deret meja paling kiri, nomor dua dari depan, Raisa meletakkan wajahnya di lipatan tangan yang berada di meja.

Gadis itu mengabaikan keributan dari teman-temannya yang disebabkan oleh hampir berbunyinya bel masuk. Tapi anak kelas belum menyelesaikan catatannya pada pelajaran sebelumnya.

Padahal harus di kumpulkan hari ini juga.

Raisa menghela napas berat. Menegakkan duduknya. Namun, pandangannya beralih ke posisi Agra yang kini sedang menenggelamkan wajahnya di meja.

Raisa mengernyit. "Tidur?"

"Hah?" Shinta yang duduk di samping Raisa menyahut. "Apaan, Sa?"

Raisa menggelengkan kepala. "Bukan apa-apa," katanya meringis kecil.

Agra, Rasa, dan Raisa (Novellet)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt