Enam; Hujan Beserta Ingatan Yang Ditinggalkan

1.2K 319 23
                                    

Aku sudah hampir di ujung jalanUpaya, tenaga, dan penghabisanYang sudah dan sedang diusahakanRuntuh terbangun entah sampai kapan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku sudah hampir di ujung jalan
Upaya, tenaga, dan penghabisan
Yang sudah dan sedang diusahakan
Runtuh terbangun entah sampai kapan

; Selaras, Kunto Aji

•••

Aku benci hujan.

Proses kondensasi uap di atmosfer menjadi butiran air itu bukan hanya membasahi bumi, tetapi juga segala ingatan yang telah aku usahakan untuk lupa, ingatan yang ingin aku bunuh sejak lama. Akan tetapi, sesak yang mendominasi hatiku saat ini menjadi bukti bahwa aku telah gagal. Ingatan itu masih tetap ada, utuh, dan... menyakitkan.

Ternyata waktu tidak dapat menyembuhkan, putarannya tak cukup membuat luka itu mengering, pun mengaburkan hal-hal yang pernah terjadi. Alih-alih menghapus, waktu justru menangguhkan segalanya.

Barangkali, waktu memang bukan penyembuh. Barangkali, luka memang tak akan pernah bisa benar-benar sembuh. Barangkali, aku yang mengizinkan luka itu tetap utuh.

Hela napas berat terdengar dari bibirku. Inilah alasan mengapa aku benci hujan, karena dalam sekejap diriku berubah menjadi manusia paling melankolis, lemah seperti rintik hujan yang tak pernah berani bertaruh sendirian.

Suara ketukan pintu memecah sunyi yang semula mendominasi kamarku. Walaupun tidak terdengar menuntut, gemanya cukup mampu membuatku terusik, tetapi tidak untuk membuatku beranjak. Hingga perlahan suara ketukan pintu itu berubah menjadi sebuah panggilan.

"Luna."

Aku tetap bergeming, enggan memberi tanggapan. Berharap dengan cara itu, Bunda akan menyerah lalu pergi meninggalkan aku seperti biasa. Namun, entah mengapa Bunda jauh lebih gigih hari ini.

"Luna," Bunda mengulang panggilannya. "Boleh buka pintunya?"

Nggak boleh. Jawaban itu tertahan di bibirku.

Selain benci hujan, aku tidak suka melihat orang asing berkeliaran di dalam kamarku. Tidak hanya orang asing, orang yang aku kenal tetapi tidak terlalu akrab pun tidak aku perbolehkan masuk. Dan Bunda termasuk ke dalam kategori yang kedua.

Namun, mengingat bangunan yang aku tinggali ini adalah hasil jerih payah Bunda, terpaksa aku membuat pengecualian. Karena bagaimana pun, pengungsi harus menghormati tuan rumah bukan?

Aku akhirnya beranjak dari bangku, dengan berat hati membuka pintu. Perasaanku yang semula sudah buruk, semakin tak keruan melihat wajah Bunda di balik pintu.

Kedua mata Bunda bengkak, jejak merah masih membekas di sudut kelopaknya, kontras dengan lingkar hitam di bawah matanya. Sedangkan permukaan bibirnya terkelupas, ada luka berdarah di beberapa sisinya.

Jatuh Cinta Itu Sia-SiaWhere stories live. Discover now