Part 1 / Hellfire, Baby

45 5 0
                                    

Bagaimana kalau ternyata, mereka yang telah tiada, tak pernah benar-benar meninggalkan dunia ini?

Tidak, aku tidak bermaksud membuatmu percaya pada hantu atau takhayul. Maksudku, mereka masih punya jejak di dunia ini. Selama masih ada orang-orang yang mengingat mereka, jejak-jejak itu abadi.

Usiaku masih 12 tahun, saat ibuku ditemukan tak bernyawa dalam ruang kerjanya. Dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Namun, aku punya kebiasaan anak kecil; saat hal buruk terjadi pada orang tuamu, orang yang kau salahkan adalah diri sendiri.

Aku yang menemukannya pagi itu, jadi aku ada di sana, mengingat semuanya dengan jelas sampai hari ini. Aku berdiri terdiam saat mereka membawa jasad ibuku pergi dari ruangan kerjanya. 

Air mataku jatuh di keesokan hari, saat aku sadar, ruangan itu tak akan sesibuk hari-hari biasanya. Wangi minyak dan cat itu akan pudar suatu hari nanti. Cepat atau lambat, aroma ruangan itu akan berganti, sama seperti ingatan-ingatanku tentangnya. Kuas-kuas itu tak lagi mewarnai kanvas-kanvas putih yang setia menanti di pojok ruangan.

Tak lama setelah kepergian ibuku, nenek yang sebelumnya tak pernah kutemui, datang dari jauh untuk menjadi waliku. Hanya nenek satu-satunya keluarga yang masih ku miliki. Ayahku meninggal karena kecelakaan kapal sebulan sebelum aku lahir. Ibuku tak pernah mempertemukanku dengan keluarga Ayah di Jerman, karena pernikahan mereka sebetulnya tak direstui. Pada akhirnya, hanya ada nenek yang datang dan membawaku pergi dari Inggris.
Dia merasa aku tak mungkin tinggal di rumah tempat ibuku mengakhiri hidupnya. Nenek juga tahu dia tak mungkin membesarkanku di Kyoto karena budaya di sana terlalu kaku. Tapi pada akhirnya aku tetap berkunjung ke sana, ke rumah keluarga besar ibuku yang seperti istana. Bertemu dengan paman-paman yang meremehkanku karena tak seperti orang Jepang, apalagi bagian dari keluarga Yoshihara.

Pada akhirnya aku tinggal bersama nenek di Singapura untuk waktu yang cukup lama. Cukup untuk membuatku percaya, tempat itu dapat ku sebut rumah. 

Walau nenek tak pernah bercerita padaku secara langsung, tapi aku mengumpulkan jejak-jejak ibu di sekitarku. Aku tahu ibu pergi meninggalkan rumah saat masih sangat muda. Dia pergi karena tak ingin menjadi bagian dari usaha keluarga Yoshihara yang sudah berjalan dan diturunkan dari generasi ke generasi.

"Ada yang rusak dalam otaknya," gerutu nenek setiap mengingat anaknya sendiri.

Namun, mengingat ibuku tak tega membunuh lalat, aku bisa mengerti mengapa ibu tak akan cocok menjadi kepala mafia. Dan nenek tak pernah memaksaku menjadi sepertinya jika aku tak mau.

Nenek hanya berusaha membesarkanku dengan caranya. Cara yang tak biasa bagi kebanyakan orang.

"Jika seseorang berbuat jahat padamu, beri mereka api neraka," pesan nenek saat melihatku, gadis kelas 1 SMA, terkapar di rumah sakit. 

Dia bahkan tak bertanya, siapa yang melakukannya. Dia tahu apa yang aku tahu. Paman yang tak suka padaku, mengirim orang-orangnya untuk memukulku sepulang sekolah. Aku bisa saja mati jika bukan karena sekelompok pejalan kaki memergoki mereka dan memanggil polisi serta ambulans.

Saat orang-orang tahu kau bukan orang sembarangan, mereka akan menggunakan berbagai cara untuk membuatmu jatuh. Mereka akan menghancurkanmu dari dalam, membuatmu membenci dirimu sendiri dengan perkataan. Mereka akan mencari celah dalam hatimu untuk menggerogotinya dan menghabisi jiwamu perlahan-lahan. Dan betapa sialnya, aku masih membawa kebiasaan anak kecil itu.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk pulih. Nenek yang menjemputku dari rumah sakit, tak langsung membawaku pulang ke rumah. Dia mengantarku ke pelabuhan, mendampingiku ke sebuah gudang dimana banyak orang sudah menunggu. Di antara mereka, aku melihat anak laki-laki pertama dari pamanku sudah telanjang bulat, diikat dan berlutut tak berdaya. Tak jauh dari pemuda itu, pamanku diikat di kursi untuk melihat semuanya. Dia meronta-ronta, meminta maaf, berusaha bersujud namun kaki dan tangannya tak bisa dilepaskan.

Sekilas aku melihat ke arah nenek, lalu melihat paman dan pemuda yang berlutut di hadapanku. Aku tak mengerti, apa yang mereka ingin aku lakukan?

"Api neraka, Freya," ujar nenek saat memberiku sebilah pisau.

Hari itu, aku rasa, aku telah membuat mayat ibuku meronta-ronta dalam peti matinya. Aku tak mau melakukannya dengan senjata. Aku menjatuhkan pisau itu dan menendang wajah pemuda itu sekuat tenaga. 

Usia anak laki-laki itu mungkin masih sepantaran denganku. Dia tak melawan, atau tak bisa melawan, saat aku melontarkan hantaman pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Masih jelas terngiang teriakan paman memintaku untuk berhenti. Namun semakin keras dia berteriak, semakin memuncak pula amarah dalam dadaku.

Kenapa dia tidak memikirkan momen ini saat dia melakukan hal yang sama padaku? Segalanya terasa masuk akal dalam pikiranku saat itu.

Ini salahnya, ini semua salahnya, aku membela diriku dalam hati sambil mengepalkan tangan yang masih bersimbah darah agar tak gemetar. Jika saja ibu tak meninggalkanku, semua ini tidak akan terjadi.

"Kau pikir ibumu bisa menjadi seperti yang kau tahu tanpaku?" Ujar nenek saat memegangi kepalan tanganku. "Ini cara dunia bekerja, Freya. Kau tak perlu menunggu karma datang pada mereka yang berani melangkahimu."

Itu caranya. Cara nenek menyayangiku. Setidaknya, nenek mengajariku sesuatu. Tak seperti ibuku yang pergi meninggalkanku, tanpa memberitahuku bagaimana cara mengikuti jejaknya, mengisi tahtanya. Setidaknya, dari nenek, aku tahu bagaimana menerangi kegelapan dalam hatiku dengan api neraka.

"Aku ingin wanita," ujarku pada nenek dalam perjalanan pulang.

"Hmm?" Nenek menatapku kebingungan.

"Aku ingin meniduri wanita," jelasku, berusaha memalingkan wajah malu. "Aku tidak.. Tidak pernah merasakannya untuk laki-laki."

"Kau mau aku yang pilih atau kau pilih sendiri?" Dia bertanya.

"Aku yang pilih," tegasku.


*** To Be Continued ***

Simulated World of Alpha NineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang