Part 3 / I'm Gettin' Mine

21 1 0
                                    

Sampai usiaku menginjak 22 tahun, aku belum pernah memiliki hubungan serius. Wanita yang ada dalam hidupku, hanya singgah sebentar untuk bersenang-senang bersama, lalu kami putus karena alasan konyol.

Tapi lebih baik begitu. Tidak perlu ada tangis saat semua berakhir. Memang lebih baik jika tak main hati.
Jika jatuh cinta menjadi tak terelakkan, aku pastikan untuk melampiaskannya dalam semalam. Seusai itu, kami akan kembali ke kehidupan masing-masing seolah tidak ada yang terjadi. Tak perlu ada penyesalan setelahnya. Sebab kami sudah sama-sama dewasa untuk bisa menilai; kami bukan pasangan yang baik jika terus bersama.

Tak bisa dipungkiri, kadang aku merasa kesepian. Aku ingin tahu bagaimana rasanya memiliki kisah cinta seperti di dalam film atau novel romantis. Kisah tentang dua orang yang sudah ditakdirkan untuk bersama sehidup semati. Kisah cinta yang terlalu sempurna untuk dunia ini. Aku menginginkannya, bahkan mengandai tentangnya.

Apa ada seseorang yang ditakdirkan untukku? Pikirku di saat malam-malam yang sepi itu datang menghampiri.

Waktu itu, aku benci untuk mengakuinya. Aku menenggelamkan perasaanku dengan alkohol dan obat-obatan. Kadang aku menyewa pelacur untuk menghiburku, membuatku merasa seolah-olah sedang dicintai.

Perlahan tapi pasti, intensitas yang kuberi istilah "kadang-kadang" akhirnya berubah menjadi "sering" dan "terlalu sering" sampai nenek tak bisa menahan dirinya untuk menegurku.

Aku sudah punya rumahku sendiri di tengah kota. Malamnya aku mabuk berat sampai tertidur di depan pintu masuk. Saat pagi hari aku terbangun, aku masih berada di tempat yang sama. Hanya saja, nenek sudah berada di taman, sedang merokok sambil menungguku sampai terbangun.

Dengan sempoyongan dan kepala yang sakit seperti tertusuk-tusuk, aku bangun dan membuka pintu rumah. Nenek tak bicara apa-apa, hanya mengikutiku ke dalam dan menutup pintu.

Ketika aku hendak menjatuhkan tubuhku ke sofa yang empuk, nenek menarik kemejaku dari belakang, menghentikanku.

"Mandi," perintahnya.

Tentu saja aku menurutinya. Aku berjalan ke kamarku di lantai dua, lalu masuk ke kamar mandi.
Tanpa ku sadari, nenek masih mengikutiku. Dia memastikan aku benar-benar mandi, seperti sedang menjaga anak kecil.

"Kau tidak bisa terus seperti ini," akhirnya nenek menegurku. Setidaknya aku sudah selesai membersihkan diri, mengenakan pakaian, dan kami duduk di meja makan ditemani secangkir kopi dengan sepuntung rokok.

"Darimana kau semalam?" Nenek bertanya.
"Klub," jawabku sambil mengusap-usap mata lalu menguap.

"Kau bersama siapa di sana?" Nenek bertanya lagi.

Aku tidak benar-benar ingat. Yang jelas aku pergi dengan beberapa teman masa kuliahku, seorang teman yang ku kenal dari bar, dan seorang lagi dari agensi model yang berusaha mendekatiku selama beberapa bulan terakhir.

"Apa semalam kau bertengkar dengan orang lain?" Kali ini pertanyaan nenek membuatku bingung.

"Tidak," aku menampik. "Aku hanya bersenang-senang, tidak mungkin aku bertengkar semalam."

Namun, untuk memastikan ucapanku benar, aku melihat buku-buku jemariku. Tidak ada memar. Aku tidak berbohong pada nenek.

"Lalu ini apa?" Nenek menyodorkan layar ponselnya ke hadapanku.

Aku mengerjap berusaha benar-benar melihat video yang diputar lewat ponsel nenek. Ada seorang wanita menghindari pukulan seorang pria gemuk. Dengan gesit tangan wanita itu mengambil botol bir, lalu memukulkannya ke kepala si pria.
Kantuk yang kurasa pun hilang dalam sekejap, kala aku menyadari, wanita itu aku.

Simulated World of Alpha NineWhere stories live. Discover now