Part 2 / Bad Idea

11 0 0
                                    

Menjadi cucu kesayangan nenek, tidak pernah menjadi niatku. Hanya kebetulan, nenek melihat sebagian besar dari wataknya ada dalam diriku. Menawan, angkuh, dan berbahaya.

Nenek menerimaku apa adanya. Menyayangiku, memenuhi segala ingin dan kebutuhanku. Aku diperlakukan layaknya tuan puteri. Tak ada yang bisa menyentuhku dalam perlindungan nenek. Anggota keluargaku yang lain hanya bisa menatap iri. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menelan kenyataan, atau jika mereka membuat masalah, aku akan menurunkan api neraka, seperti yang nenek ajarkan.

Pada suatu malam, saat aku di akhir usia 16 tahun, tiba-tiba nenek memanggilku ke kamarnya. Aku sudah terlanjur mengenakan piyama dan bersiap untuk tidur. Tapi karena pelayan yang datang ke kamarku bilang, ada hal yang sangat mendesak, mau tak mau aku berjalan menyeberangi taman menuju kamar nenek.

Saat aku tiba di kamarnya, nenek tampak baru pulang dari kasino ditemani pelayan wanita dan prianya. Aku kenal mereka. Wanita itu bernama June, sementara si pria menyebut dirinya Caesar. Mereka semacam peliharaan nenek. Dan aku tidak pernah nyaman berada satu ruangan bersama mereka bertiga.

"Masuk, Freya," nenekku menyuruh.

Apa boleh buat, pikirku waktu itu. Aku harus berada dalam ruangan yang sama dengan mereka bertiga.
June dan Caesar sedang membantu nenek mengganti pakaian dengan kimono tidur, saat nenek tiba-tiba bertanya dalam bahasa Jepang, "Gakko wa dou?" Bagaimana sekolahmu?

Nenek hanya bicara dengan bahasa Jepang jika dia tidak ingin June dan Caesar mendengar obrolan kami. Sepertinya, memang ada hal penting yang ingin dibicarakan nenek malam itu.
Aku menjawabnya dengan bahasa Jepang juga, seperti seharusnya. Aku bercerita padanya kalau sebentar lagi aku akan lulus SMA, tapi aku belum tahu mau melanjutkan ke universitas mana.

Nenek pun bertanya, kenapa tidak masuk jurusan kesenian di Singapura saja? Dia mengingatkan, aku tidak harus membantunya berbisnis, dia hanya tidak mau aku merasa tidak berguna. Dia bilang, mau tidak mau aku mewarisi bakat ibuku. Aku lebih baik memanfaatkannya.
"June, Caesar, tolong buatkan kami teh, sayang," pinta nenek pada dayang-dayangnya dengan bahasa Inggris.

Setelah June dan Caesar pergi dari ruangan, aku rasa, nenek melihatku menghembuskan nafas lega.

"Kenapa sih kau tidak suka dengan mereka?" Tanya nenek heran setelah menyalakan rokoknya.

"Mereka aneh, tidak seperti manusia," jawabku jujur.

"Kalau tidak seperti manusia lalu terlihat seperti apa?" Nenek terkekeh. "Ada-ada saja kau."

Aku meringis canggung sambil mengambil sebatang rokok dari kotak milik nenek.

Tidak lama, June dan Caesar kembali membawa sepoci teh herbal dan dua cangkir untukku dan nenek. Kami pindah ke balkon untuk melihat terangnya bulan dan bintang di langit, sementara kedua dayang-dayang nenek masuk ke kamar dan menunggu di dalam sana.

"Sekarang, dengar aku, Freya," nada bicara nenek tiba-tiba serius, "kau sudah besar sekarang, aku tidak bisa terus melindungimu. Usiaku terbatas. Walau aku seperti ini, tapi aku tidak mungkin hidup selamanya."

"Jadi apa maksud nenek?" Nada bicaraku mendadak kecut. Aku tidak suka diingatkan soal kematian.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, nenek minta aku mendekat. "Sini, berdiri di sisiku," perintahnya. Dia menyuruhku menanggalkan pakaianku untuk melihat kulit punggungku.

"Di sini bagus," dia menghitung dengan jengkal tangannya dari punggung hingga ke pahaku.
Nenek kemudian menyuruhku mengenakan pakaianku lagi. Lalu dia pergi ke dalam kamar, mengambil gulungan kertas dari meja kerjanya dan memberikannya padaku.

Tak butuh waktu lama sampai aku menyadari maksud nenek. Dalam gulungan kertas itu, ada lukisan burung phoenix yang indah. Nenek bilang, dia menggambarnya sendiri. Aku rasa, saat itu akhirnya aku tahu darimana ibu dan aku mendapatkan bakat kami.
Aku mau hidup dengan lukisan itu ditubuhku.

"Dia akan terlihat cantik di kulitmu," ujarnya. "Dengan begitu, kemana pun kau pergi sepanjang hidupmu, aku bisa menjagamu, Freya."
Aku rasa, malam itu, untuk pertama kalinya aku memeluk nenek. Tak seperti ibu yang meninggalkanku. Nenek melindungiku dengan caranya. Walau aku merasa tubuhnya amat kaku dalam pelukanku, tapi dia mengizinkan aku menyayanginya walau hanya sejenak.

"Ada kata-kata bijak dalam bahasa Jepang," ungkapnya, "nito wo oumono wa itto wo mo ezu. Kalau kau berusaha melakukan dua hal sekaligus, kau tidak akan mendapatkan apa-apa. Ibumu tahu itu, dia punya pilihan dan dia memilih tanpa ragu. Kau boleh membenci ibumu, Freya, aku tidak akan melarang, karena dia meninggalkanmu, aku bisa mengerti. Tapi, kalau kau mau hidup sepertiku, kau harus tahu kalau tidak ada putar balik; segalanya, atau tidak sama sekali."

Aku yang masih terlalu naif untuk bisa mengerti ucapannya, hanya bisa mendengarnya bercerita.

"Aku sudah punya anak saat usiaku lebih muda darimu. Aku bisa pastikan, tidak ada tempat untuk cinta di jalan ini," ucap nenek dengan bibir yang tersenyum perih. "Kau lihat sendiri betapa kerasnya kau harus berjuang untuk membuktikan diri dalam keluargamu sendiri. Di luar pun sama, Freya. Mungkin kau takut karena tak ingin dibandingkan dengan Yua, tapi apa kau mau menyerah pada seseorang yang telah meninggalkanmu begitu saja? Apa kau mau merendahkan dirimu karena tak percaya kau bisa mengalahkannya?"

Pertanyaan nenek, memang ada benarnya. Dia benar-benar membuatku berpikir malam itu.

Apa aku mau mengalah karena aku tak yakin pada diriku sendiri? Jika seperti itu, bukankah aku akan menjadi seorang pengecut.

Nenek tidak pernah mendikte perasaanku, dia tak pernah menyuruhku melakukan apa pun. Nenek hanya menjelaskan padaku tentang hal yang sedang terjadi. Dia selalu memaparkan kenyataan yang tanpa ampun, tanpa welas asih.

Kurasa, jika bukan karena wejangan nenek malam itu, aku tidak akan tahu kemana aku harus melangkah. Aku ingin balas dendam pada ibuku. Aku ingin ibuku melihat api neraka dari surga sana.

***

Banyak orang yang heran bagaimana caraku melakukannya. Mendapat penghargaan, mengikuti lelang, dan lukisan-lukisan yang mampu terjual hingga ratusan juta dolar. Dan para kritikus, mereka adalah lelucon. Aku bahkan tidak perlu menodongkan pisau ke leher mereka untuk menulis hal baik tentangku.

Saat teknologi visual begitu maju, tapi di hadapanku, seorang Freya Adler, secanggih apa pun peralatan mereka, tak ada yang bisa mengalahkan amarahku. Yang membedakan seorang seniman hebat dengan seniman kacangan, hanya cerita yang mereka tuliskan lewat goresan di atas kanvas. Saat kecerdasan buatan begitu mahir memadukan teknik, hanya manusia yang memiliki emosi. Dan aku memiliki banyak sekali cerita.

Sekolah hanya caraku mendapat koneksi, menjadi pintu untuk memperlihatkan pada dunia bahwa aku ada. Tapi selebihnya aku tak perlu berpikir terlalu keras. Tentu saja, tingkahku seperti selebriti. Penggemarku datang dari mana-mana. Terutama orang-orang kaya. Bintang pop, bintang rock, penulis dan sutradara, mereka mengantri untukku. Rasanya, seperti terbang di atas awan, saat dunia mulai mempertimbangkanku. Seolah aku hidup untuk semua itu. Pujian, tepuk tangan, karpet merah, dan pesta pora.

Mereka tidak hanya melihat lukisan, mereka melihatku mendobrak pintu surga, melemparkan bola-bola api ke wajah sang pencipta.

Jika saja kau bisa melihatku waktu itu, akuma no keshin da. Jelmaan iblis.

Aku tidak punya rasa takut pada siapa pun kecuali satu, Kematian.


***To Be Continued***

***To Be Continued***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

FREYA ADLER

Simulated World of Alpha NineWhere stories live. Discover now