N°1 | Ladang Layu

22 3 0
                                    

URI bersikeras untuk berburu hari ini bahkan ketika sengatan matahari nan terik membayangi setiap langkah kami, melengketkan alas sepatuku pada aspal yang mendidih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

URI bersikeras untuk berburu hari ini bahkan ketika sengatan matahari nan terik membayangi setiap langkah kami, melengketkan alas sepatuku pada aspal yang mendidih. Bukannya aku mau mengakui tapi cuaca yang begini selalu melemaskan aku. Seberapa kalipun aku berpura-pura meniru orang kena peluru panas di kedua betis, Uri tetap kukuh pada pendiriannya, pada kepalanya yang--memang kenyataannya--besar dan keras.

“Orang-orang bilang saat awan-awan di langit bergumul jarang-jarang, itulah waktu yang tepat untuk berburu, Pao.”

Aku mengendikkan bahu, terlalu lemah untuk mengingatkan Uri bahwa dia sudah mengatakan hal sama seperti kemarin malam, dan sehari setelahnya. Lagi pula orang-orang yang dimaksud Uri adalah Zepyhr. Semua orang di jagat raya bodoh ini pun tahu bahwa orang Zepyhr itu terkenal akan keyakinan mereka pada hal-hal yang membuat diri mereka sendiri kelihatan terbelakang.

Jadi tak ada gunanya mengeluh.

“Kira-kira apa yang bisa kita dapatkan hari ini di Ladang Layu?” Dimana semua harapan sudah memudar sepenuhnya. Sesuai julukannya. Tempat menyedihkan.

Uri melompati dua lempengan aspal yang mencuat ke atas seraya berkata dengan keyakinan setara menara pencakar. “Beberapa bagian tubuh yang masih bagus. Yang bisa kita tukar dengan harga tinggi.”

Lagi-lagi itu. “Kau tentu tak lupa bagaimana bangsat Faresa menipu kita habis-habisan, bukan?"

Uri memberiku lirikan tajam, dengan senyum puas di ujung bibirnya selagi dia menjawab. “Tentu saja. Bagaimana mungkin aku lupa, kita dapat harga tertinggi yang sepadan tiga bulan persediaan karena dia.”

Dengusanku tenggelam di antara gemerincing suara lonceng angin di sisi kiri dan kanan jalan lengang. Uri dengan rasa puas dirinya yang berlebihan selalu saja melupakan semua kontribusiku dalam kesuksesannya. “Aku masih menunggu janjimu untuk mengganti pisau milikku.”

“Itu lagi? Sudah aku camkan saat-saat genting supaya kau membunuh menggunakan kapak saja.”

“Jadi itu salahku? Kubunuh Faresa dalam sekali gorok untukmu dan itu salahku?”

“Kapak tetap saja lebih efisien.” Dalih Uri, menekan pergerakanku supaya berhenti melalui isyarat tangan sementara dia sendiri mengendap-ngendap di antara kios runtuh, mengintip dari balik kusen jendela bolong. Mengamati jalan yang akan kami lalui.

Jengkel, aku beringsut-ingsut sedekat mungkin dengannya, mulai berkata. Cukup tajam untuk membuat telinga tersayat. “Kapak? Yang benar saja. Aku tak mau kejadian di Sunken Place terulang kembali.”

Ada pergerakan kecil pada bahu Uri. Awalnya kukira hanya gerakan biasa sambil lalu belaka namun ternyata dia berani-beraninya menertawakan aku. Dia tentu ingat kejadian kala itu, tepat saat purnama kelima ketika pemburuan masal dimulai. Hari yang paling aku tunggu-tunggu selama delapan belas tahun aku hidup. Uri mengajakku serta setelah bertahun-tahun aku mendesaknya supaya mengizinkan aku ikut. Dia menyetujui usulanku setelah aku mengancam akan membakar seluruh koleksi komik Traiblazer milik Uri. Walaupun agak sakit hati karena eksistensiku kalah oleh seorang penulis tak terkenal yang sudah lama mati, perasaan itu menguap begitu saja ketika Uri memberiku perlengkapan tempur yang sudah lama hanya jadi pajangan dinding.

MALICEWhere stories live. Discover now