N°2 | Sunken Place

11 3 0
                                    

“Angkat dia, Uri!” perintah si mata lembayung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Angkat dia, Uri!” perintah si mata lembayung. Tak sampai sedetik aku bisa merasakan sepasang tangan besar menggapai pinggangku, dalam sekali sentak perutku menghantam bahu padat dari seorang pria yang disembunyikan oleh masker yang sebelumnya tak pernah kulihat desainnya. Guncangan dan rasa sakit silih berganti memaksa aku untuk segera memfokuskan diri.

Di antara dunia yang berputar-putar, penglihatanku berangsur-angsur pulih, begitu pula indera pendengaranku. Kemudian saat itulah aku mendengarnya.

Apakah itu suara kaki kuda? Bukan hanya satu tapi belasan.

Pertanyaannya adalah ke mana mereka akan membawaku?

Oh tidak, Marloyn tolong aku, aku tak mau berakhir diperdagangkan.

Tunggu! Aku ingin berteriak. Tapi yang keluar dari dalam tenggorokanku hanya gumam tak jelas mirip seperti suara Marloyn saat akhir pekan tiba namun proyek dari kantornya seakan tiada akhir. Bangunan yang dibayangi lumut carut marut berkelebat di sisi kiri dan kananku, aku coba membuka mulut lagi, kali ini dengan harapan yang lebih besar, kalimatku kembali tersendat tapi dengan alasan lain.

Aku melihat papan itu bak melihat kelebatan kehidupanku sendiri. Aku bahkan tak sempat memejamkan mata ketika bintang-bintang meledak di kepalaku, saking kerasnya efek tabrakan antara kepalaku dengan papan itu, telingaku sampai berdenging dan dalam masa transisi itu aku mendengar beberapa patah kata soal kehati-hatian dan mayat, diikuti oleh suara cekikikan nyaring.

Aku dengan mata pedas kembali memejamkan mata, bukan hanya karena tak tahan akan rasa sakit berdenyut yang aku yakini nantinya bakal menjadi semacam benjol besar keunguan, tapi juga karena aku tahu percuma saja berusaha melepaskan diri. Alih-alih berhasil kabur, paling-paling tulang rusukku sendiri yang bakal menuai hasil dari kebodohanku.

Aku menghela napas dalam, dan mulai menghitung.

Satu. Burung-burung acap kali mengesalkan Marloyn terutama saat hewan lucu itu tak berhenti berkicau di balkon rumah kami pada pagi-pagi buta. Dua. Andai saja tak ada aku yang menghalang-halangi, burung-burung itu sudah lama berada di halaman belakang. Terkubur jauh di bawah tanah, dengan tubuh bolong karena peluru, digerogoti cacing alih-alih teriakan Marloyn.

Tiga. Marloyn. Aku penasaran dia sedang apa saat ini? Empat. Mengurung diri di ruang kerja dengan piama merah muda satin yang aku hadiahi setahun setelah kami mulai tinggal bersama atau barangkali malah mengais-ngais ke dalam lemari pakaianku, mencoba baju serta kemejaku--lebih seringnya kemejaku--sampai dia capek sendiri.
Marloyn tak pernah suka aku memergokinya mencuri baju-bajuku untuk dipakainya namun begitu, aku sama sekali tak keberatan, terutama saat melihatnya meringkuk di ranjang kami, hanya dengan celana dalam dan bajuku. Enam. Tujuh. Kuhabiskan saat-saat itu untuk memandanginya. Kurunuti setiap garis dan kerutan entah lama atau baru. Kadang-kadang aku bertanya-tanya bagaimana manusia serupawan dia bisa balas mencintaiku?

MALICEWhere stories live. Discover now