N°3 | Rencana Paola

16 3 0
                                    

Di Shreya yang selalu sibuk, hari-hari berlalu bak sambaran kilat ke atas tanah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di Shreya yang selalu sibuk, hari-hari berlalu bak sambaran kilat ke atas tanah. Tapi selain Uri yang seakan mempertanyakan kepintaranku dan Gatra yang seperti lupa akan tujuan awalnya, tak ada perubahan yang membuatku kewalahan. Shreya masih menjadi tempat penampungan sampah-sampah seantero galaksi. Orang-orang dengan mata atau anggota badan yang hilang hilir mudik keluar masuk Shreya, kadang-kadang sembari membawa buntalan-buntalan besar di balik bahu.

Ketika kami berhenti untuk mengasah piala-piala Uri, akhirnya ada yang bertanya soal tangan kosong kami.

"Kalian kemalingan?" Kekeh salah seorang penjaja. Ezoŕ tua yang sudah jadi perantara hasil buruan Uri selama dua belas tahun. Kini dia juga jadi perantara hasilku.

"Hanya ada tulang keropos, Ezoŕ." Senyum Uri seraya menyodorkan segenggam baut berkarat. "Kubawakan oleh-oleh."

Begitu melihat hadiah Uri, mata keriput Ezoŕ berbinar-binar. "Bagus, bagus," gumamnya riang, cepat-cepat memasukkan bungkusan itu ke dalam laci. Setelah mengunci dan menepuk meja supaya dikaruniai berkat keberuntungan dia mengangkat wajah, memberikan senyum yang hanya diperuntukkan bagi Uri seorang. "Nah, sekarang ada yang sekiranya mampu aku jawab, Nak?"

Uri melihatku melalui ujung mata, tapi aku bersikeras tetap teguh di tempat, berdempetan dengan Gatra yang sedang memeriksa berbagai macam perkakas yang diperjual-belikan Ezoŕ di bagian teras toko.

Setelah heninh panjang Uri berbisik. "Bukan hal yang bikin pusing."

"Tentu saja, tentu, tentu," angguk Ezoŕ kalem, memasang kacamata bututnya supaya mampu melihat gerak bibir Uri lebih jelas.

"Soal Pangeran ..."

"Kedua? Keempat?"

"Ketiga." Aku menjawab.

"Oh astaga, Pao-sayang sedari kapan kau berdiri di sana? Pangeran ketiga? Oh ya, ya. Sudah lama sekali aku tak mencium bau busuk anak manja itu, padahal menurut kawan-kawanku--jangan tanya siapa--dari kelima saudaranya, dia yang paling senang luntang-lantung di sini, Shreya maksudku." Ezoŕ menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "entah itu ke rumah bordil atau kefai-kefai kegemaran kalian."

"Wah." Komentar Uri masam.

Ezoŕ terkekeh sampai terbatuk-batuk. Dengan kebiasaannya mengisap asap beracun ditambah lagi polutan pada udara Shreya, aku dengan sedih menyadari paru-parunya takkan bertahan lebih lama lagi. "Kadang-kadang anak kencur itu juga kelihatan bolak-balik di Haritma."

Telingaku seketika menegak. Kata Haritma bergema dalam batok kepalaku bak nyanyian surgawi. Haritma. Itu merupakan satu-satunya perpustakaan di Shreya. Letaknya di pinggiran barat, dekat akhir tembok pembatas. Sudah lama terlupakan. "Terima kasih, Ezo."

Ezoŕ mengibaskan tangannya acuh. Dia membungkuk, ketika ia kembali meluruskan punggung, memberi kami kejutan lainnya--berupa kotak rotan mencurigakan dan sebuah pematik lusuh. "Ambilah. Yang terbaik yang bisa kudapatkan bulan ini."

MALICEWhere stories live. Discover now