2. Tidak Sabar

541 51 6
                                    

Begitu Devon menghentikan mobil di tempat parkir, Lee langsung menatap panik ke luar mobil. Ada begitu banyak manusia. Sebagain besar dari mereka—kebanyakan adalah makhluk yang serupa dengan Aara—menatap dengan sorot mendamba ke arah mobil yang ia tumpangi bersama kedua sepupunya.

"Kenapa mereka terus menatap ke sini?" Lee bertanya panik.

"Biasalah. Kurang kerjaan," jawab Alka cuek sambil melepas sabuk pengamannya. Sepupunya itu menoleh ke belakang, tempat Lee duduk sendiri. "Abaikan mereka dan terus saja menatap ke depan. Oke?"

Leedan mengangguk kaku, tapi tetap saja ia tak bergerak meski kedua sepupunya sudah turun hingga akhirnya pintu disentak terbuka dan wajah Devon muncul di sampingnya. "Mau sampai kapan kau berdiam di situ?"

Leedan tersentak. "Aku turun," jawabnya cepat. Dan begitu ia keluar dari mobil, kehebohan terjadi di sekitarnya. Suara terkesiap, kagum, batuk, dan lain-lain.

Lee melirik kedua sepupunya yang seolah tidak terpengaruh oleh keadaan sekitar. Lalu, Alka kembali berbisik di telinganya. "Ingat saranku tadi. Abaikan dan terus menatap ke depan. Jangan menoleh atau mencoba bersikap ramah sedikit saja atau kau tak akan pernah bisa keluar dari kerumunan makhluk-makhluk mengerikan itu!"

Leedan mengangguk samar. Sebetulnya, tanpa perlu Alka peringatkan pun dirinya tak akan pernah bisa berbaur dengan mereka. Ini suasana yang cukup baru baginya. Keramaian.

Diapit oleh kedua sepupunya, Lee berjalan tegap melewati kerumunan itu tanpa menoleh. Wajahnya sekaku baja dan tatapannya setajam elang yang sedang mengincar mangsa. Ia begitu waspada mengamati sekitar seolah ancaman bisa datang kapan saja tanpa peringatan.

Dari sudut matanya, ia bisa melihat banyaknya kepala yang mengintip dari dalam kelas. Beberapa dari mereka saling berbisik, menanyakan siapa dirinya. Namun, tidak ada yang tahu jawabannya. Leedan cukup merasa lega karena ia tak mau dikenal atau diajak berteman. Tujuannya bersekolah di situ hanya untuk bertemu Aara.

Akan tetapi, pada akhirnya ia terpaksa harus memperkenalkan diri di depan kelas. Hal yang sangat menyiksa. Apalagi ia harus melakukan itu di setiap ganti kelas dan mata pelajaran karena sistemnya yang rolling class.

Dalam hatinya mengucap syukur karena kakeknya bisa mengatur supaya ia bersama dengan kedua sepupunya itu di semua mata pelajaran yang ia ikuti. Setidaknya kedua sepupunya itu bisa membantu mempersingkat perkenalan di depan kelas yang menurutnya tidak perlu.

"Nama saja cukup. Kalau mau data diri lebih lengkap, bisa minta ke TU." Begitu celetukan Devon ketika guru dari kelas Bahasa Indonesia ingin supaya Leedan menceritakan sedikit tentang dirinya. Dan tidak ada yang membantah.

Pada jam istirahat, kegelisahan di hati Lee tidak juga membaik karena ia belum melihat Aara sama sekali. Awalnya, ia pikir sekolahnya tidak akan sebesar itu hingga ia bisa bertemu Aara lebih sering, tetapi ia salah. Ruang kelasnya saja ada puluhan dan ia tak tahu Aara mengikuti kelas apa saja. Beberapa kali mulutnya sudah hampir menanyakan di mana Aara pada kedua kakak sepupunya, tetapi ia tahan karena tidak mau terlihat mencurigakan. Apalagi, sudah bukan rahasia bahwa dirinya selalu menunjukkan gelagat kurang suka pada Aara.

Ia menurut dalam diam ketika Devon dan Alka menggiringnya ke kantin. Sama seperti ketika datang lagi tadi, sepanjang jalan ke kantin mereka menjadi pusat perhatian. Dan seperti nasihat Alka, ia tak menoleh, tersenyum, atau bahkan menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya menyadari kehadiran orang-orang di sekitarnya. Yah, sebetulnya tanpa nasihat dari Alka pun dirinya tak akan pernah peduli pada siapa pun. Ia menyukai kesendirian dan membenci keramaian.

Tiba di bangunan luas dengan banyak kursi panjang berderet di seberang, lalu ada konter makanan di sepanjang sisi, Devon berdecak keras.

"Kakek dan Paman harusnya bersikap tegas!"

Sepupu Rasa PacarWhere stories live. Discover now