Royal Prince | 01

1.2K 106 7
                                    

"Apa Mas bilang? Coba kamu dengarin kata-kata Mas. Pasti nggak akan kayak gini kejadiaannya!" Suara Darwin menggebu-gebu di ruang tamu rumah—ketika ibunya, Ibu Pitaloka, sedang memeriksa punggung bawah Citra yang sudah dijahit oleh dokter.

"Udah dong, Mas. Adiknya lagi sakit begini malah kamu marah-marahin," lerai Bu Pita.

"Habis dia dibilangin susah, Bu. Udah Mas bilang nggak usah samperin ke pembatas—malah disamperin. Lihat sekarang hasilnya apa? Codet kan badannya?" balas Darwin membela diri.

Bu Pita hanya bisa menghela napas dan kembali melihat luka Citra.

"Lagian kamu juga aneh jadi cewek! Seharusnya cewek seumuran kamu tuh ngefans-nya sama Edward Cullen atau Harry Potter. Ini ... malah ngefans sama Pangeran dari negara tetangga yang cakep-juga-nggak."

"Sembarangan aja kalau ngomong!" Kali ini Citra membalas ucapan Darwin, merasa tidak tahan karena sejak tadi laki-laki itu terus-terusan mengatakan hal yang menyebalkan. "Nggak semua hal bisa diukur dari fisik, ya, Mas! Lagian Pangeran Saga manis, kok! Dia juga berprestasi! Buktinya umurnya baru 18 tahun, tapi udah bisa jadi anggota timnas Nevalia!"

Darwin tertawa sarkastis. "Eh Citra, dia itu cuma menang anak Raja. Bisa jadi pemain bola pun pasti karena statusnya yang Pangeran. Lagian timnas bodoh mana, sih, yang mau nolak anak Raja kayak dia?"

"Mas, Ibu nggak pernah ajarin kamu buat suuzon ke orang lain, ya!" tegur Bu Pita.

"Siapa yang suuzon sih, Bu? Memang kenyataannya begitu, 'kan?" sahut Darwin tak ingin disalahkan. "Sekarang apa, sih, yang nggak bisa didapat seorang Pangeran? Dari lahir aja mereka udah difasilitasi banyak hal. Segala sesuatunya dipermudahkan. Mana pernah mereka ngerasain hidup susah, sampai mau berjuang keras buat wujudin impiannya?"

"Tapi bukan berarti semuanya selalu berjalan mulus kan? Mau orang biasa atau Pangeran sekalipun, mereka pasti punya tantangan tersendiri buat wujudin impiannya!" balas Citra tak terima.

"Halah, paling juga dia ngerengek minta bapaknya supaya bisa dikabulin impiannya."

Citra menahan napas, berusaha tidak semakin emosi. Dia tidak habis pikir, mengapa Darwin selalu sewot ketika membahas Saga atau segala sesuatu yang berhubungan dengan Nevalia? Setiap kali mendengar nama atau melihat foto Saga, Darwin akan mencari celah untuk mencibirnya. Padahal Darwin tidak tahu apa-apa soal Saga atau apa pun yang berhubungan dengan Nevalia.

"Terserah, deh. Debat sama Mas cuma bikin capek aja!" Citra meraih ransel miliknya, lalu berdiri.

"Dih, ngambek. Kamu 'tuh orang Nevalia apa Indonesia, sih? Sampai segitunya banget ngebelain Pangeran dari negara yang pernah jadi sekutu musuh negara kita!"

"Nevalia bersekutu sama Jepang karena salah satu menantu mereka orang Jepang! Bukan karena mau menjajah Indonesia!"

"Intinya mereka bersekutu sama Jepang! Titik!"

Tidak ingin meladeni lagi, Citra memilih pergi. Kalau bukan karena permintaan Bu Pita, Citra juga tidak ingin menerima bantuan Darwin untuk menemaninya pergi ke pertandingan sepak bola. Lagi pula Darwin tidak tahu apa-apa tentang perasaannya terhadap Saga. Citra mengagumi Saga bukan karena paras atau statusnya yang seorang Pangeran. Lebih dari itu. Bagi Citra, Saga adalah bentuk lain dari semangat untuk meraih sebuah impian.

Citra ingat kali pertama dia melihat Saga dari sebuah acara televisi tiga tahun lalu. Hari itu merupakan hari di mana Saga diumumkan masuk ke salah satu liga ternama di Nevalia. Ada seorang reporter yang menanyakan kepada Saga tentang alasan Saga bergabung dengan liga sepak bola Nevalia, dan kemungkinan keterlibatan kerajaan dalam bergabungnya Saga dengan liga tersebut. Dengan air wajah yang terlihat tenang, Saga berdiri dari tempat duduknya dan menjawab pertanyaan itu.

Royal Prince (Republish)Where stories live. Discover now