Royal Prince | 07

714 79 3
                                    

Selalu ada hal sederhana yang bisa membuat perasaan Citra menjadi lebih tenang dan bahagia. Salah satunya seperti saat ini, ketika dia berjalan di trotoar Jalan Sudirman menuju stasiun MRT—sambil menikmati indahnya pemandangan kota malam dan melihat gedung perkantoran yang berdiri dengan kokoh. Setelah hampir seharian menjaga kasir, Citra membiarkan dirinya membaur dengan orang-orang untuk merasakan hiruk pikuk ibu kota yang tidak pernah berhenti. Hampir setiap hari Citra mengulang kegiatan yang sama, tapi dia tidak perah mengeluh atau jenuh.

MRT yang akan ditumpanginya belum datang. Citra memutuskan untuk duduk di salah satu tempat duduk sambil membaca pesan singkat dari Darwin. Semenjak konferensi pers itu, Darwin jadi lebih sering menghubungi Citra. Sepertinya dia khawatir kalau Citra akan sedih lagi memikirkan Saga dan Tania. Citra sendiri belum memberitahu Darwin tentang kerajaan yang memintanya menggantikan Tania. Citra juga meminta Bu Pita untuk tidak mengatakan apa pun terlebih dahulu kepada Darwin. Laki-laki itu agak tempramental. Citra tidak ingin Darwin jadi marah-marah dan gegabah karena hal ini.

Sampai detik ini pun Citra sendiri belum memutuskan apa-apa soal pertimbangan yang disarankan Bu Pita. Dia tidak tahu, apakah dia harus pergi ke Nevalia untuk mengetahui segalanya, atau tetap di sini, berpura-pura tidak tahu apa-apa dan berusaha menjalani kehidupannya seperti biasa. Citra benar-benar sudah merelakan perasaannya. Jadi dia tidak ingin menyakiti dirinya sendiri dengan masuk ke kehidupan Saga dan Tania.

Meski begitu, Citra tetap memikirkan ucapan Bu Pita tentang Mia. Citra harap kerajaan memiliki solusi lain tanpa harus melibatkannya.

Setelah menunggu beberapa menit, MRT dengan rute Senayan-Fatmawati akhirnya datang. Citra bergegas masuk ke dalam dan duduk di sebelah ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya. Perjalanan dari Senayan ke Fatmawati kurang lebih memakan waktu sebelas menit. Citra menyumpal kedua telinga dengan earphone, mendengarkan lagu dari ponsel dengan musik ringan yang menenangkan perasaannya. Citra membayangkan banyak hal saat mendengarkan lagu-lagu itu, hingga tanpa sadar, MRT sudah melaju cepat menuju tujuannya.

Citra turun di stasiun Fatmawati dan berjalan menyusuri gang. Ketika belok menuju panti, dari kejauhan dia melihat kembali mobil sedan kerajaan yang terparkir di pekarangan panti.

"Selamat malam, Nona Citra." Pak Hasan menyapa ketika Citra menghampirinya. "Kami kembali datang ke sini untuk—"

"Maaf sebelumnya, Pak Hasan." Citra memotong ucapan Pak Hasan dengan nada yang lebih sopan. "Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak dan kerajaan, saya benar-benar nggak bisa menerima permintaan itu. Saya nggak bisa menjadi pengganti Tania atau menggantikan siapa pun."

"Tapi Nona—"

"Saya tahu kerajaan sedang dalam masa sulit. Saya juga tahu Tania sedang berjuang melawan penyakitnya. Tapi menjadikan saya sebagai pengganti Tania bukan sebuah solusi, Pak. Bukan seperti ini cara kalian menyelesaikan masalah kalian."

"Lalu, bagaimana kami harus menyelesaikan masalah ini?"

Suara itu membuat Citra tersengat. Perlahan, Citra menoleh dan terpaku menatap lelaki berkaos hitam sedang berdiri menatapnya dari jarak tiga meter. Citra mematung. Setelah tahun demi tahun berlalu, Citra tidak menyangka kalau dia akan melihat wajah itu lagi di hadapannya. Laki-laki berkulit sawo matang yang kini memiliki postur lebih tinggi dan kekar dari terakhir Citra melihatnya.

Sejak hari di mana Citra menyadari hubungan Saga dengan Tania, Citra sudah tidak berharap lagi untuk bisa melihat kedua mata itu secara langsung. Namun hari ini, di tempat yang selalu Citra anggap sebagai penyembuhnya, dengan sendirinya wajah itu kembali muncul di hadapannya.

Citra kehilangan kata-kata. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Dia ... semangat yang telah lama Citra lepas dari hidupnya.

Royal Prince (Republish)Where stories live. Discover now