013. Romantis?

1.6K 68 0
                                    

Warning!!! Awas baper, siap-siap gigit jari wkwkw!!
Jangan lupa vote gays, ini bab lumayan panjang.

Happy Reading
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

013. Romantis?

Sekarang Luna sudah berada di ruang inapnya. Tangannya terdapat infus. Tak lama, seseorang yang ia tunggu telah datang. Dewa yang baru saja membuka pintu terkejut dengan tatapan Luna yang berbinar senang.

D

engan langkah gontai, Dewa menghampiri Luna.

"Kamu habis dari mana, Mas?" tanya Luna.

"Aku habis bayar uang administrasi, Sayang. Ada apa? Apa ada yang sakit? Mama mana?" tanya Dewa beruntun.

"Isss! Kmu kalau tanya itu satu-satu, aku bingung harus jawab yang mana dulu." Luna cemberut.

"Maaf, Sayang. Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?" tanya Dewa kembali.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Oh iya, kata dokter aku kenapa?" tanya Luna.

Dewa terdiam sebentar, ia bingung untuk menjawab pertanyaan istrinya. Ia takut, kalau Luna tidak terima dengan kehamilannya. Karena sejak awal pernikahan, Luna sudah bersepakat dengan Dewa, jikalau ia TIDAK INGIN MEMPUNYAI ANAK. Ia ingin Childfree—sepasang pasangan yang tak ingin mempunyai buah hati.

Dewa memejamkan mata sejenak, menghela napas, lima detik setelahnya ia kembali membuka mata, lantas berkata, "Kamu hamil."
Selepas kalimat itu terlontar, Luna seketika membulatkan matanya. Takjub. Speechless. Tidak percaya.

"Aku ... hamil?" tanya Luna dengan menunjuk dirinya sendiri.
Dewa mengangguk, ia takut bahwa Luna tidak akan menyukai kehamilannya. Memang, ia telah kebablasan malam itu telah melontarkan segelintir cairan ke rahim istrinya—yang jelas-jelas tidak menginginkan buah hati.

"Kamu nggak bohong, kan?" tanya Luna memastikan.

Dewa kembali menggeleng. "Saya nggak bohong Luna, kalau kamu tidak percaya kita bisa cek USG."
Luna hanya bungkam. Tak tahu harus mengatakan kata apa lagi. Ia memandangi perutnya, sorot matanya sendu. Perlahan, tangan kanannya terulur, mengusap pelan perutnya.

"Kamu beneran nggak bohong, kan, Mas? Di dalam perutku ini ada nyawa? Darah dagingku sendiri?" Luna kembali memastikan, tanpa menghentikan usapan dalam perutnya.

Dewa mengangguk. “Di dalam sana beneran ada nyawa, Sayang. Kamu akan menjadi seorang Ibu. Dan saya akan jadi seorang Ayah.” Dewa mendekat pada ranjang Luna. Duduk di sebelahnya, tangan beruratnya terulur, turut mengusap perut istrinya.

"Saya nggak nyangka kalau saya akan menjadi seorang Ayah," tutur Dewa di sela-sela ucapannya.

"Aku juga nggak nyangka, Mas. Kalau aku akan jadi seorang Ibu." Dewa lantas menatap manik Luna, sangat dalam. Ia berdiri, tanpa mengalihkan pandangan dari manik cantik di hadapannya.

"Kamu nggak marah dengan kehamilanmu? Kamu bukannya dari awal pernikahan udah sepakat nggak mau punya bayi?" Dewa bertanya.

Luna terdiam. Ia tak tahu jikalau ‘jiwa Luna yang dulu' menginginkan hal demikian. Memiliki buah hati di tengah jalinan tali pernikahan bukankah keinginan semua orang?

"Aku nggak tau kalau jiwa Luna yang dulu nggak mau punya bayi," batin Luna.

Sesaat, wanita itu menghela napas. Membalas tatapan sangat suami. “Aku dulunya emang nggak mau punya anak, Mas. Tapi lambat laun aku mikir, buat apa jalinan tali pernikahan kalau nggak ada anak? Bukannya hampa?” Luna berkata.

Transmigrasi Menjadi Seorang Istri [ On Going]Место, где живут истории. Откройте их для себя