Part 12

73 8 10
                                    

Happy Reading
....

Kabar kehamilan Lea sudah sampai ke Mertua Lea. Semenjak itu hampir setiap hari Lea, selalu mendapatkan kiriman makanan dari Ibu Mertunya. Mertua Lea juga melarang Lea untuk memasak, sama persis seperti Raden. Lea tidak diperbolehkan mengerjakan pekerjaan rumah, semuanya dikerjakan oleh Raden.

"Mas, Lea bosan," keluh Lea.

"Kamu mau jalan-jalan? Tapi ini udah malam, Lea. Nggak baik keluar malam-malam gini," jawab Raden.

"Aku bosen, nggak ngapa-ngapain, Mas. Pegang ini nggak boleh pegang itu nggak boleh." Lea melanjutkan keluhannya.

Raden sudah paham arah pembicaraan Lea, Raden tersenyum, "Sayang," ucap Raden lembut, Lea sampai merinding dibuatnya. Pasalnya Raden itu sangat jarang memanggil Lea dengan panggilan sayang.

"Apa? Mas mau bilang lagi, kamu lagi hamil Lea, gitu?" Walaupun terdengar menantang, percayalah suara Lea jelas terdengar gugupnya.

"Mas bukannya mau melarang-larang kamu, Mas cuma takut kamu kenapa-kenapa. Apalagi ini kehamilan pertama kamu, Lea." Raden mengusap rambut Lea, lembut.

"Tapi nggak segitunya juga, Mas. Masak nggak boleh, nyuci nggak boleh, beres-beres nggak boleh. Bahkan cuci piring aja nggak boleh." Lea belum mau kalah.

"Ini demi kebaikan kamu, Sayang."

"Mas, kalau Mas gini terus. Lea jadi ngerasa, sebenarnya Mas itu lebih sayang sama dedek yang ada di perut Lea ini, daripada Lea sendiri." Lea mengerucutkan bibirnya.

Raden mengerutkan keningnya, ia merasa bingung dengan cara berpikir istrinya itu, "Kok kamu bisa sampai kepikiran begitu, Lea? Justru kehadiran buah hati kita ini adalah bukti rasa sayang Mas, ke kamu."

"Tapi sebelum Lea hamil, Mas nggak sampai segininya memanjakan Lea. Mas banyak berubah setelah Lea hamil, wajar dong Lea merasa iri sama anak kita ini, Mas."

"Kamu berpikir begitu?" tanya Raden.

"Iya, Mas. Sejujurnya sampai saat ini saja, Lea tidak bisa membaca isi hati Mas untuk Lea." Pembicaraan yang tadi awalnya ringan, dalam sekejap menjadi pembicaraan yang serius.

"Isi hati yang mana lagi, Lea? Apa yang kita lalui bersama selama tiga tahun ini belum cukup untuk kamu, Lea?" Suara Raden, berubah menjadi dingin.

Lea terdiam,"Kamu masih meragukan Mas?" sambung Raden lagi.

"Lea bukannya ragu, Mas! Lea hanya...." Lea menjeda ucapannya, Lea menundukkan wajahnya.

"Hanya apa, Lea?"

"Mas belum pernah sekalipun menyatakan cinta sama, Lea! Kita menjalaninya begitu saja, tanpa ada pernyataan cinta. Belum lagi sikap Mas yang tidak menentu. Dan sekarang setelah Lea hamil, Mas tiba-tiba berubah total. Jadi kalau misalnya Lea tidak hamil-hamil, Mas nggak akan pernah memperlakukan Lea seperti ini?" Lea meluapkan semua isi hatinya.

Raden tertawa hambar, "Kamu berpikir begitu Lea? Mas tidak menyangka pikiran kamu sesempit ini." Raden bangkit dari tempat duduknya, "Istirahatlah, Mas malam ini tidur di ruang tamu."

Malam itu Lea dan Raden tidur terpisah. Keduanya tenggelam dalam emosi masing-masing.

Lea, menangis sampai akhirnya ia tertidur dengan wajah yang masih basah oleh air mata. Sementara Raden, ia terjaga sampai menjelang subuh, entah sudah berapa seduhan kopi yang ia habiskan. Malam itu, Raden sama kacaunya dengan Lea.
....

Pagi harinya Raden tetap menyiapkan sarapan seperti biasanya, hanya saja suasananya tidak sehangat biasanya. Raden dan Lea hanya berbicara seperlunya.

"Ayo sarapan," panggil Raden.

Hingga SenjaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt